Pengalaman dan harapan adalah dua hal yang mengikat dalam sebuah kehidupan. Sesuatu yang berlalu, baik dan buruk, keduanya menjadi suatu pengalaman.Â
Dari apa yang terjadi, biasanya kita memiliki harapan. Harapan yang belum tentu tercapai kemudian diusahakan dan didoakan agar kehendak bisa sampai. Umumnya, begitulah proses sebuah kejadian.
Dalam sebuah kejadian, apabila yang dilakukan sesuai dengan harapan. Maka, tak jarang dianggap baik. Namun, jika terjadi diluar ekspektasi yang mungkin merugikan, dikategorikan sebagai pengalaman yang tidak baik, buruk, atau bahkan gagal. Dari situlah, harapan kembali diutarakan.Â
Peningkatan usaha dengan segala motivasi yang ada, membuat seseorang tak henti mencoba. Hingga kemudian proses serupa, terjadi kembali. Dari pengalaman kemudian timbul harapan.Â
Setelah terjadi, maka siklus tersebut akan terulang lagi sampai kemampuan akal kita masih bisa mengolah informasi. Berhasil atau tidaknya, itu urusan beda.
 Jika dalam uraian sebelumnya suatu hasil dikategorikan dalam keadaan baik dan buruk, tidak berarti hal itu berlaku untuk semua manusia. Ada orang yang berpikir bahwa dalam keburukan yang terjadi, tetap akan ada sisi positifnya.Â
Contohnya: Dalam sebuah ujian, Alfa tidak mampu menyelesaikan seluruh soal. Namun Alfa berpikir, paling tidak Ia jadi tahu model pertanyaannya, tau celah pengawasannya yang kemudian bisa Ia pelajari di kemudian hari.Â
Di sisi lain, adapula yang menggunakan keburukan untuk kebaikan. Dalam hal percintaan misalnya. Seringkali orang sulit melupakan mantan kekasihnya. Wajar saja. Mungkin dari sosok sang mantan, Ia bisa dapatkan kenyamanan. Dan ketika Ia pergi, maka sebagian jiwanya pun turut menghilang.Â
Dalam proses ini, keburukan dari pengalaman berkisah bisa dijadikan alasan untuk melupakan. Apapun itu. Bisa digali hingga menerima perpisahan. Dengan konsekuensi, menerima rasa sakit untuk pulih.
Untuk dapat mengolah pikir itu, mungkin tidak semua orang bisa menjangkau. Pasalnya, dalam proses membolak-balikkan pikiran perlu waktu. Implementasinya pun tidak boleh terpaksa ataupun dipaksa. Jadi, memang tidak harus segera.Â
Bahkan, proses berpikir ini, bisa saja datang pasca emosi terluap tanpa sadar. Hingga kemudian, Ia mendapat ruang untuk menyadari, berpikir, lalu mencari-cari.
 Ketika upaya yang dilakukan tercapai. Maka, segala harapan yang terjadi tak lagi menjadi tolak ukur kategori baik ataupun buruk. Apapun itu, semua dalam kendali kita. Jika kita masukkan dalam hal baik, maka Ia akan baik. Begitupun sebaliknya. Dan lagi, proses cara berpikir memiliki andil dalam keputusan ini.Â
Apabila kita menguasai diri, maka tidak sulit melepas angan, membiarkan impian, hingga merelakan yang mungkin memang bukan jodoh kita. Bicara jodoh ini pun luas. Bisa pekerjaan, pertemanan, maupun percintaan. Bebas saja. Semampu kita mengkategorikan.
 Apabila kita sudah bisa menerima apa yang memang semestinya terjadi, apakah itu di luar harapan atau secara kebetulan, sesuai dengan ekspektasi, mungkin kita tidak terlalu berbangga diri karena mungkin memang semestinya hal itu terjadi.Â
Tulisan ini bukan menganjurkan untuk bersifat pasrah dengan tanpa usaha. Tapi, lebih kepada usaha tanpa melulu mengharap kejadian di depan sesuai dengan ekspektasi. Melainkan, lebih pada upaya agar kita bisa menerima. Apapun itu.Â
Dengan sadar, logika, dan kemampuan berpikir, kita harus mampu menggali suatu sisi yang baik atau buruknya itu kembali kepada kita. Selamat berpikir!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H