Saya akan memulai tulisan kali ini dengan sebuah cerita.
Teman saya Cindy, punya hutang kepada temannya yang bernama Wati sebesar 10 juta rupiah. Ketika Wati menagih utang, Cindy sedang tidak memiliki uang tunai. Maka, ia membayar utang tersebut dengan laptop yang ia taksir memiliki harga 10 juta rupiah. Setelah Wati melihat laptop tersebut, ia setuju bahwa laptop itu juga berharga 10 juta rupiah, sama dengan nilai utang Cindy. Lalu, Cindy menyerahkan laptop tersebut dan mereka bersepakat bahwa utang Cindy lunas.
20 tahun kemudian, Wati meninggal dunia. Seorang kerabat Wati yang bernama Lusi datang kembali menagih utang Cindy. Menurut Lusi, laptop yang Cindy serahkan untuk pembayaran utang dulu nilainya kurang dari 10 juta rupiah. Lusi meminta Cindy membayar lagi kekurangannya.
Kalau Anda menjadi Cindy, Anda pasti akan marah pada Lusi. Mengapa nilai laptop itu baru dipermasalahkan setelah 20 tahun kemudian? Kedua, bukankah Cindy sudah memiliki itikad baik untuk melunasi hutang dengan memberikan salah satu aset yang ia anggap nilainya setara dengan jumlah hutang? Terlebih, Wati ikut menaksir dan sudah setuju bahwa laptop tersebut cukup untuk menutup hutang. Ketiga, bukankah sudah bukan tanggung jawab Cindy lagi jika sekarang harga laptop tersebut nilainya menjadi turun?
Semestinya, Wati langsung menjual lapto tersebut ketika masih dianggap model paling canggih, sehingga harganya tetap 10 juta atau bahkan melambung tinggi. Jika kemudian Lusi mempermasalahkan harga laptop tersebut, berarti Lusi mengolok-olok intelektualitas Wati, seperti mengatakan, "Kok dulu mau utangnya dibayar dengan harga lebih rendah?" Padahal, Wati sudah menghitung secara sistematis harga laptop itu.
Anda mungkin menganggap cerita di atas sebagai lelucon konyol.
Namun, itulah yang dialami oleh Sjamsul Nursalim (SN) dalam perkara Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI). SN dianggap belum melunasi kewajibannya, padahal ia sudah menerima Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN sebagai jaminan kepastian hukum atas pelunasan hutangnya. Maka, tak patut jika sekarang kasusnya diungkit-ungkit kembali.
Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menuturkan, dalam pandangan ekonomi kalaupun sebenarnya ada kesalahan taksir di awal, tak dibenarkan juga jika saat ini kembali menyengketakan hal tersebut kepada pengutang, dalam hal ini obligor. Terlebih lagi, penaksir dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pemberi utang sudah menyatakan aset tersebut mampu melunasi utangnya.
Jika dikaitkan dengan kasus SKL BLBI ini, BDNI lanjutnya, sejatinya tak perlu kembali diseret sebab di awal dia sudah menyelesaikan tanggung jawabnya menyerahkan aset. Pada intinya, kata Heri, ketika aset telah diserahkan dan surat lunas telah diberikan, masalah utang-piutang ini seharusnya selesai.
Pandangan ini juga diperkuat oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rahmatawarta yang menyebut bahwa masalah yang terjadi saat ini adalah aset yang digunakan pelunasan kewajiban, ternyata setelah dinilai saat ini tak sebesar penilaian dulu.
Khusus untuk BDNI, DJKN sendiri mencatat asetnya seperti yang disampaikan oleh BPPN. "Itu sudah dibayar aset dan cash yang sesuai dengan kewajibannya. Makanya, terbit SKL. Pada prinsipnya, SKL sudah diterbitkan maka itu sesuai dengan syarat dan ketentuan BPPN menerbitkan SKL," imbuhnya.