“kesederhanaan macam apa yang bisa kamu pelajari dari calon pemimpin yang tidak sederhana?”
Pemimpin yang baik bukan hanya pemimpin yang bisa membangun dan bekerja, tapi juga yang memberikan contoh yang baik. Artinya, ada proses edukasi yang tak boleh dinafikan oleh pemimpin dalam setiap perilakunya. Bukan semata kinerja, tapi mulut dan perangainya harus terjaga. Bukan hanya prestasi, tapi kebijakannya juga harus membumi, tidak menyakiti, atau hanya realistis dalam dunia imaji. Terpenting dari itu semua adalah keniscayaan untuk mengerti kehidupan, kondisi, dan kenyataan rakyat yang dipimpinnya. Kalau rakyatnya belum sejahtera dan kemiskinan masih mengurita, pemimpin yang baik tak perlu pamer kekayaan dan kemewahan yang dimilikinya.
Sayangnya, itulah yang kita lihat kemarin dari salah satu calon gubernur DKI Jakarta ketika berkampanye di Kepulauan Seribu: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni. Keduanya mengunjungi empat pulau di Kepulauan Seribu, yaitu; Pulau Kelapa, Pulau Panggang, Pulau Tidung, dan Pulau Untung Jawa.
Untuk mencapai daerah-daerah itu, mereka menumpangi kapal pesiar mewah (luxury tipe), berbeda dengan tumpangan tim pemenangan dan awak media yang menggunakan kapal speedboat. Tak hanya itu, terlihat ada helikopter warna hitam bergaris putih yang “mengawal” kapal pesiar yang ditumpangi AHY ketika berpindah lokasi dari Pulau Kelapa menuju Pulau Panggang.
Dalam konteks sehari-hari, tanpa ada tujuan apa-apa kecuali berkunjung biasa dan liburan, kita bisa melihatnya sebagai hal yang biasa. Namun, ketika itu dilakukan pada saat berkampanye, kita berpikir agak sedikit aneh. Berkunjung ke daerah-daerah yang “paling menderita” dan paling tertinggal di lingkungan DKI Jakarta dengan mempergunakan fasilitas mewah merupakan ketidak-wajaran. Seperti tak ada empati, apalagi simpati.
Tak ada yang perlu kita amini kecuali, bahwa ini menunjukkan ketidakpekaan AHY terhadap kondisi warganya. Padahal tampil lebih sederhana, menumpangi kendaraan yang biasa ditumpangi warga tanpa pengawalan seperti seorang Pangeran akan lebih manis, elegan, dan egaliter. Lalu pelajaran apa yang bisa kita ambil dari seorang calon pemimpin yang tidak peka? Seperti ingin menertawakan kemisikan rakyat dengan membawa barang-barang yang menjadi simbol kemewahan, kemapanan, dan hedonisme? Lagi, contoh kesederhanaan seperti apa yang bisa kita ambil dari calon pemimpin yang tidak bisa hidup sederhana, seenggaknya pura-pura sederhana untuk kampanye saja? Kasihan!
Selanjutnya, mari kita mulai menakar ketidakwarasan janji-janji AHY ketika berkampanye. Dalam setiap kampenyanya ke berbagai daerah di DKI Jakarta, dari yang daratan hingga yang lautan, ada tiga program konkrit yang akan dilaksanakannya ketika ia nanti terpilih: pertama, dana bantuan langsung sementara (BLS) sebesar 5 juta perkeluarga miskin. Kedua, dana bergulir sebesar 50 juta perkelompok warga/setiap unit usaha, dan ketiga, dana pemberdayaan komunitas sebesar 1 miliar untuk RT/RW.
Untuk apa pemberian BLS pada keluarga miskin ketika tidak ada gejala atau sebab yang mengharuskannya? Dulu, BLT diberikan sebagai subsidi tunai ketika harga BBM naik. Term “sementara” dalam jangka waktu berapa lama? Kalau setiap tahun berarti bukan sementara, tapi menetap; bantuan langsung menetap (BLM). Tapi, mari kita coba menghitungnya dalam angka. Penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2016 tercatat sebanyak 384,3 ribu jiwa atau sekitar 3,75 % dari total penduduk.
Kalau 5 juta dikalikan jumlah penduduk miskin akan didapatkan angka 1,9215 Triliun. Ini pun belum jelas, apakah penduduk miskin atau keluarga miskin? Sebab kalau perkeluarga miskin, sama saja bohong. Karena satu keluarga miskin bisa terdiri dari beberapa penduduk miskin. Bagaimana mungkin Rp416.000/bulan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Untuk dana bergulir sebesar 50 juta rupiah bagi masing-masing kelompok warga atau setiap unit usaha juga perlu dikritisi (untuk tidak mengatakan perlu ditertawakan). Ketika berkampanye di Kepulauan Seribu, AHY mengatakan akan memberikan bantuan dana bergulir untuk 20.000 unit usaha di Kepulauan Seribu (bisa dibaca di tirto.id). Tapi, mari kita lihat berapa jumlah penduduk Kepulauan Seribu. Dari wikipedia.org, jumlah penduduk yang menempati 11 Pulai di Kepulauan Seribu sekitar 20.000 jiwa.
Kalau mau menggunakan data BPS, pada tahun 2010 ada sekitar 21.864 jiwa. Kita mungkin jadi bingung, ini akan membantu kelompok warga / setiap unit usaha atau membantu perwarga? Benarkah ada 20.000 ribu unit usaha plus kelompok warga di Kepulauan Seribu? Tapi mari kita hitung lagi menjadi angka, 20.000 dikalikan 50 juta, hasilnya 1 Triliun. Ini untuk Kepulauan Seribu saja. Berapa triliun yang harus dialokasikan untuk daerah Jakarta yang lainnya?
Bagaimana dengan bantuan sebesar 1 Milyar untuk RT/RW? Kompas.com melaporkan, jumlah ketua RW di DKI Jakarta adalah 2.709 orang. Sementara itu, ada 30.246 ketua RT. Kalau kita mempergunakan jumlah RW, maka tinggal kita kalikan 2.709 dengan 1 Miliar, jumlahnya adalah 2,709 Triliun pertahun. Jumlah itu berbeda kalau yang diberi bantuan ternyata seluruh RT yang ada di Jakarta. Gila!
Membaca penjelasan tersebut di atas, kita dipusingkan dengan angka yang fantastis. Namun, hanya ada satu kata untuk menilai fakta itu, bahwa program kerja AHY hanyalah janji-janji politik yang sarat materi. Program menggiurkan tapi miskin nilai. Program mengerikan sehingga perlu benar-benar dipantau. Program kerja konkrit dari pasangan yang miskin ide. Banyak yang menilai, justru ini merupakan pembodohan untuk rakyat Jakarta karena meninabobokkan mereka dalam waktu sementara untuk sensara setelahnya.
Rakyat dibuat bergantung dengan bantuan seupil. Kita perlu sepakat, bahwa ini adalah “trobosan” memalukan untuk memenuhi serapan anggaran yang tinggi. Kalau begitu, biar APBD-nya cepat terserap, bikin saja program bagi-bagi seperti ini. Inilah orang-orang yang tidak mengerti perbedaan keadilan sosial di sila kelima Pancasila dengan bantuan sosial.
Disamping itu, jika program konkrit yang ditawarkan adalah bagi-bagi uang dan sarat materi seperti ini, justru menjadi tamparan telak bagi warga Jakarta karena harga diri mereka diangkakan dengan nominal yang sedemikian murah. Padahal, rakyat Jakarta mempunyai harga diri, yang tidak bisa dibeli dengan uang sebesar apapun. AHY dengan bantuannya sebesar 5 juta pertahun berarti telah membeli harga diri rakyat miskin Jakarta dengan harga sebegitu murahnya. Ini adalah penghinaan dan pelecehan. Bagi yang rela menerimanya berarti telah menjual harga dirinya. Rakyat Jakarta lebih membutuhkan kebijakan yang memanusiakan. Pemerintah secara konstitusional mempunyai kewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya, tapi bukan dengan cara murahan seperti ini.
Untuk orang-orang waras, tentu bisa dengan mudah menemukan ketidakwarasan janji-janji AHY dalam Pilkada DKI Jakarta. Jadi jangan main-main dengan harga diri rakyat Jakarta. Mereka tidak butuh uang cash untuk memberikan suara karena mereka punya harga diri. Biasanya yang menjual program bagi-bagi seperti ini akan menemukan jalannya sendiri menuju kekalahan. Untuk apa memilih calon yang tidak bisa menyontohkan kesederhanaan dan programnya hanya bagi-bagi uang?
Mari, sekali-kali kita berpikir pintar... Inilah calon gubernur, calon penista anggaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H