Gembira dan Sedih Diterima Jadi Wartawan
Setelah wisuda, aku mulai memikirkan masalah lain. Apakah aku harus pulang ke Medan, atau tetap di Padang? Kalau pulang ke Medan, apakah aku akan mendapat pekerjaan? Atau akan jadi pengangguran, yang menambah beban ibu?
Dulu, saat bapak masih ada, aku berharap setelah wisuda bisa bertanya pada bapak, selanjutnya aku harus bagaimana? Apakah akan menjadi guru seperti yang diinginkan bapak, atau bagaimana?
Namun setelah bapak meninggal, mau tak mau, aku harus berpikir sendirian untuk menentukan masa depanku, setelah wisuda.
Di satu sisi, aku masih sangat ingat kalau bapak tak ingin aku mengikuti jejaknya, menjadi wartawan. Tapi, di sisi lain, aku merasa kalau peluangku untuk bisa segera bekerja adalah menjadi wartawan.
Setelah bapak meninggal, aku juga menyimpan kliping berita tentang tanggapan ketua organisasi tempat bapak bernaung sebagai wartawan. Dalam tanggapannya, ketua organisasi wartawan itu mengharapkan kepada perusahaan pers yang ada di Medan agar menerima anak-anak bapak yang berbakat jadi wartawan, jika melamar kerja di perusahaannya. Katanya, itu sebagai bentuk rasa solidaritas, simpati dan empati sesama wartawan.
Tapi, kalau menjadi wartawan di Medan, aku merasa tidak siap mental. Aku masih trauma. Insiden yang menimpa bapak, dan segala hal yang kulihat saat menemani ibu mengikuti sidang kasus bapak di pengadilan, membuatku takut jadi wartawan di Medan. Entahlah, kalau aku jadi wartawan di Padang. Mungkin aku masih punya keberanian
Setelah berpikir cukup lama-- baik dan buruknya, aku pun memberanikan diri melamar jadi wartawan Harian Haluan, yang saat itu menjadi media cetak yang terbaik di Sumatera Barat.
Aku bertemu dengan pemimpin redaksinya, yang berpenampilan sangat berwibawa. Selain jadi pemimpin redaksi, ternyata dia juga anggota DPRD Sumbar.
Setelah memerhatikan cerpen dan tulisanku yang kulampirkan di map surat lamaran kerja, pemimpin redaksi itu bertanya mengapa aku ingin jadi wartawan. Kukatakan, aku ingin segera bekerja untuk membantu ibuku, karena bapakku sudah meninggal.
Kulihat wajah pemimpin redaksi itu seperti terenyuh mendengar alasanku. Dia kemudian mengatakan, jadi wartawan itu tidak mudah. Terutama jam kerjanya, tidak seperti pekerja kantoran, jam lima sore sudah pulang. Apa aku sudah siap bekerja seperti itu?
Aku katakan, aku sudah siap, dan sudah paham. Karena bapakku dulu, pulang kerjanya juga selalu tengah malam.
"Memangnya, bapaknya dulu kerja apa?" tanya pemimpin redaksi itu.
"Wartawan, Pak," jawabku jujur.
Pempimpin redaksi itu nampak agak terkejut. Dia kemudian bertanya wartawan di surat kabar mana bapakku dulu bekerja.
Aku pun memberitahu nama surat kabar tempat bapakku bekerja di Medan, dan penyebab bapakku meninggal.
Wajah pemimpin redaksi itu seperti terpana. "Jadi, Ririn anak almarhum Hermawan?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan. "Iya, Pak."
Pemimpin redaksi itu menatapku dengan rasa iba. Dia pun bercerita kalau kejadian yang menimpa bapakku selalu diikutinya dan beritanya diterbitkan di surat kabar yang dipimpinnya, dengan mengutip dari LKBN Antara. Dia sangat prihatin dengan kejadian yang menimpa bapakku, juga hukuman yang diberikan hakim kepada pelaku penganiaya bapakku.
Dia kemudian bertanya banyak hal tentang kehidupan kami, setelah bapak meninggal. Ada keprihatinan yang dalam tergambar di wajahnya.
"Jadi, kapan Ririn mau mulai kerja di sini?" tetiba pemimpin redaksi itu bertanya padaku.
"Ririn diterima kerja di sini, Pak?" tanyaku tak percaya.
"Iya. Mana mungkin kami tak menerima Ririn. Berdosa kami, kalau menolak anak almarhum Hermawan yang mau bekerja di sini," kata pemimpin redaksi.
Dia kemudian memberitahu berapa gajiku sebulan, yang menurutku cukup besar. Ia juga memintaku untuk tetap rajin menulis cerpen dan artikel untuk menambah pendapatanku. Di surat kabar yang dipimpinnya itu, tulisan wartawan mendapat prioritas untuk diterbitkan.
Aku pulang membawa kabar gembira itu kepada ibu yang masih berada di Padang. Semua kuceritakan pada ibu. Ibu nampak terkejut, tidak menduga aku baru pulang melamar kerja dan diterima. Kulihat ibu merasa terharu, anaknya baru diwisuda sudah dapat pekerjaan.
Tetapi, tidak dengan Uni Yeti. Dia menyatakan keberatannya, aku jadi wartawan. Â "Masih mau jadi wartawan juga, Rin? Kalau bisa dapat kerjaan lain, sebaiknya kerja yang lain saja."
Aku dan ibu terdiam. Kami mengerti, Uni Yeti pasti masih mengingat apa yang terjadi pada bapakku yang merupakan pamannya. Tak mudah memang melupakan kenangan pahit dan menyedihkan itu.
Dalam hatiku, aku pun sebenarnya merasa sedih dan bersalah. Aku telah berani mengambil keputusan menjadi wartawan, padahal aku tahu kalau bapak pernah melarangku jadi wartawan. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H