"Iya. Mana mungkin kami tak menerima Ririn. Berdosa kami, kalau menolak anak almarhum Hermawan yang mau bekerja di sini," kata pemimpin redaksi.
Dia kemudian memberitahu berapa gajiku sebulan, yang menurutku cukup besar. Ia juga memintaku untuk tetap rajin menulis cerpen dan artikel untuk menambah pendapatanku. Di surat kabar yang dipimpinnya itu, tulisan wartawan mendapat prioritas untuk diterbitkan.
Aku pulang membawa kabar gembira itu kepada ibu yang masih berada di Padang. Semua kuceritakan pada ibu. Ibu nampak terkejut, tidak menduga aku baru pulang melamar kerja dan diterima. Kulihat ibu merasa terharu, anaknya baru diwisuda sudah dapat pekerjaan.
Tetapi, tidak dengan Uni Yeti. Dia menyatakan keberatannya, aku jadi wartawan. Â "Masih mau jadi wartawan juga, Rin? Kalau bisa dapat kerjaan lain, sebaiknya kerja yang lain saja."
Aku dan ibu terdiam. Kami mengerti, Uni Yeti pasti masih mengingat apa yang terjadi pada bapakku yang merupakan pamannya. Tak mudah memang melupakan kenangan pahit dan menyedihkan itu.
Dalam hatiku, aku pun sebenarnya merasa sedih dan bersalah. Aku telah berani mengambil keputusan menjadi wartawan, padahal aku tahu kalau bapak pernah melarangku jadi wartawan. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H