Sungguh kaya negeri ini. Terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan 34 provinsi, 13.466 pulau, 1.340 suku bangsa, 748 ragam bahasa, dan sekitar 300 kelompok etnis yang masing-masing memiliki warisan budaya. Keragaman ini terajut indah dan rapi, membentuk sebuah negeri yang disebut Indonesia.
Merujuk pada fakta bahwa Indonesia adalah negeri dengan sejuta keragaman yang tak terlepas dari kaum mayoritas dan kaum minoritas, sanggupkah kita menyatukan langkah padahal masing-masing memiliki cita dan rasa yang berbeda?
Pada dasarnya keragaman bisa menjadi kelebihan dan tak jarang kekurangan yang memicu lahirnya berbagai masalah pelik. Menjadi percikan api yang memicu terbakarnya konflik, terutama akibat perbedaan agama dan tujuan politik. Jika sudah demikian, maka keretakanlah yang tercipta. Sebuah keretakan itu memang wajar terjadi karena negara besar mustahil tanpa masalah.Â
Namun kunci yang terpenting adalah ketulusan untuk bersatu dalam keberagaman. Maka tak heran apabila founding fathers telah menyepakati konsensus untuk memegang erat semboyan "Bhineka Tunggal Ika" Â yang artinya berbeda-beda tetapi satu.
Persatuan bukan berarti satu, maka tak harus kita merubah  atau memaksakan agar warga negara Indonesia ini satu kultur. Bhineka Tunggal Ika telah mengajarkan kata kuncinya yakni integrasi nasional.  Kesatuan yang mengisyaratkan berbagai elemen berbeda dapat mengalami proses pembauran. Hal ini dapat terjadi apabila ada toleransi terhadap perbedaan dan berusaha mencari titik temu atau kesamaan.
Realitas dewasa ini, melalui media massa atau bahkan secara langsung kita tengah menyaksikan konflik terkait isu-isu intoleransi dan mulai pudarnya persaudaraan kebangsaan. Bukan masalah siapa yang paling benar atau salah, namun kecenderungan menganggap hebat diri sendiri mulai tumbuh. Cepat ataupun lambat keadaaan ini dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan dengan sejuta kultural.Â
Kita menjadi tak peduli lagi bahwa bukan hanya diri dan kelompok yang memiliki kepentingan, melainkan adapula orang atau kelompok lain yang memiliki kewajiban dan dilindungi hak-haknya. Selain itu, kondisi ini akan mempermudah pihak luar yang ingin merongrong ataupun menggoyahkan stabilitas yang pada gilirannya mengurangi hakikat kemerdekaan. Bagaimana mungkin dapat kuat menghadapi serangan luar, apabila masih ribut dengan saudara sendiri?
Jawabannya tentu adalah dengan cara menumbuhkan semangat kebersamaan dan menjunjung tinggi toleransi. Terlepas dari berbagai konflik yang terjadi, kita masih bisa bertenang diri karena masih banyak masyarakat di beberapa daerah yang dapat menghargai perbedaan.Â
Masyarakat mayoritas dapat mengayomi yang minoritas. Tidak ada rasa bahwa minoritas terdiskriminasi. Salahsatunya seperti yang terjadi di NTB, Pulau Seribu Masjid. Tanpa bermaksud berlebihan, dapat diakui bahwa kaum beragama di Pulau yang terkenal dengan wisata halal tersebut layak dijadikan contoh. Tercatat bahwa Masyarakat NTB 96, 47% beragama Islam, 2, 62% Hindu, 0,32% Budha, 0,31% Kristen protestan, 0,20% katolik.Â
Walaupun mayoritas masyarakat adalah Islam namun Islam yang tampak adalah Islam inklusif- Islam Rahmatan lil alamin. Hal ini tercermin ketika antara masyarakat yang muslim maupun non-muslim dapat sama-sama merasakan manfaat yang luar biasa pada bidang pertumbuhan ekonomi dengan adanya wisata halal dan Masjid Raya Hubbul Wathan Islamic Center.
Bahkan keberhasilan sikap toleransi di NTB sempat diakui oleh Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Josep R. Donovan JR ketika melakukan kunjungan kerja ke Nusa Tenggara Barat. Duta Besar tersebut menilai bahwa NTB merupakan contoh yang baik bagi kehidupan masyarakat yang damai dan toleran. (www.ntbprov.go.id, 2017)
Maka dari itu, mari kita pelajari kembali makna persatuan disertai toleransi yang sebenarnya. Sudah saatnya kita seirama menyatukan langkah untuk bergerak dan menghidupkan kembali nilai-nilai yang terdegradasi, baik nilai berbangsa, bernegara, maupun beragama. Perlu kesadaran dari masyarakat serta kesungguhan dari pemerintah.Â
Mungkin cara yang dilakukan oleh gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi atau beberapa elite birokrasi yang lain merupakan salahsatu terobosan yang dapat dilakukan, yakni menyebarkan pesan kepada rakyat mengenai cinta tanah  air, semangat persatuan, dan rasa percaya diri terhadap kemampuan bangsa ini.Â
Karena biasanya pesan pemimpin akan lebih didengar oleh masyarakat luas. Dan perlu kita ingat, ketika kata "kami" atau "mereka" semakin tajam, maka semakin tinggi ancaman terhadap persatuan. Indonesia adalah kita, bukan hanya saya atau anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H