Janji-janji bahwa pendidikan akan meningkatkan peluang memperbaiki status sosial semakin banyak diragukan, sehingga menghasilkan semakin banyak kekecewaan yang diarahkan kepada mereka yang dianggap mendapatkan akses ekonomi dan sosial secara tidak adil.
Keluhan-keluhan yang dirasakan bersama tampaknya menghasilkan sikap politik serupa di antara para responden kami. Walaupun mobilisasi anti-Ahok 2016 dipelopori oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia yang kini dibubarkan, hampir 60% responden menyatakan terafiliasi dengan organisasi-organisasi Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini lazimnya dipandang sebagai penjaga bentuk-bentuk “moderat” politik Islam di Indonesia.
Ini tidak mengejutkan sebetulnya, karena survei kami tidak menunjukkan banyak perbedaan dalam pendapat tentang berbagai persoalan terkait moralitas Islam di kalangan mereka yang merasa mendukung organisasi-organisasi moderat atau pun garis keras.
Perkembangan ini meliputi sikap terhadap non-muslim, peran perempuan dalam masyarakat, dan aktivitas ekonomi yang bisa diterima secara keagamaan. Tampaknya organisasi-organisasi Islam moderat dianggap tidak mampu menangani kecemasan yang berlaku umum, mendorong para responden untuk mendukung narasi yang lebih tegas tentang marjinalisasi yang digunakan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras.
Menariknya, seperlima responden kami menganggap bahwa tidak ada satu pun organisasi Islam yang benar-benar merepresentasikan kepentingan mereka. Akibatnya, narasi garis keras diarusutamakan menjadi politik kaum muslimin yang tadinya dipimpin oleh organisasi-organisasi Islam moderat.
"Dampak jangka panjang situasi sosial terlihat negatif"
Perkembangan ini tidak mencerminkan serangkaian situasi sosial yang mendadak muncul. Sejak akhir 1980-an, neoliberalisasi perekonomian Indonesia sudah menghancurkan pelan-pelan lembaga-lembaga publik dan meningkatkan persaingan antar-individu, dalam sebuah situasi yang pada umumnya tanpa jaring pengaman sosial di luar keluarga.
Karena pasar terlalu abstrak untuk disalahkan, kambing hitam yang paling gampang adalah “liyan” yang didefinisikan sebagai di luar mayoritas orang biasa.
Kasus Ahok, yang memperlihatkan sentimen kuat anti-Cina, menunjukkan bahwa ketidakadilan pasar disumirkan oleh ide bahwa mayoritas umat Islam dipinggirkan secara sistematis dalam persaingan memperebutkan sumber daya ekonomi.
Hal itu juga menunjukkan bahwa elite politik siap memanfaatkan kecemasan di kalangan muslim muda terdidik berikut aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atas mereka yang sarat kontradiksi.
Akibatnya, isu-isu ketimpangan dan ketidakadilan akan semakin sering dibingkai berdasarkan identitas rasial maupun keagamaan, yang dengan demikian mengabaikan betapa semua itu lebih terkait secara fundamental dengan transformasi neoliberal dan sifat kekuasaan ekonomi dan politik.