Mohon tunggu...
Anisya Dwi Herlina
Anisya Dwi Herlina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - S1 Akuntansi Universitas Pamulang

Hallo semua, selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memasarkan Moralitas dalam Demokrasi Indonesia

19 April 2024   10:30 Diperbarui: 19 April 2024   10:59 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Moralitas Islam berpotensi menyediakan sumber daya kultural yang kaya untuk dieksploitasi oleh elite yang saling berkompetisi, termasuk di antaranya melalui 171 pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung di seluruh Indonesia pada tahun 2018.

Dukungan lewat mobilisasi massa, ketika diperlukan, bisa dibentuk oleh jenis narasi penindasan tertentu yang digunakan dengan sangat baik ketika melawan Ahok di Jakarta.

Inilah narasi yang menekankan perjuangan mayoritas rakyat yang terus-menerus dipinggirkan dan dibayangkan sebagai sebuah umat (Islam). Umat ini dikontraskan dengan elite bisnis tamak yang diberi label sebagai etnis minoritas Tionghoa, yang pada gilirannya juga didukung oleh tokoh-tokoh politik kuat dan korup.

"Dampak terhadap pemilihan presiden 2019"

Tampaknya kemungkinan besar pemilihan presiden 2019 akan menghadapkan kembali Presiden Joko Widodo dan lawan beratnya, Prabowo Subianto. Jokowi sudah dihadang oleh rumor tentang identitasnya, terutama disebarkan melalui media sosial oleh para buzzer dan pengguna internet. Rumor ini menyebut-nyebut peran Jokowi dalam mengizinkan pengaruh Cina masuk ke Indonesia, dengan juga memelihara keraguan terhadap ketakwaannya sebagai seorang muslim.

Sebaliknya, Prabowo dan aliansinya—termasuk Anies Baswedan, yang juga dipandang berambisi meraih kursi kepresidenan setelah mengalahkan Ahok—sudah mulai berkonsolidasi dengan lebih banyak organisasi Islam garis keras.

"Survei tentang persepsi di kalangan aktivis Islam"

Dalam sebuah survei terhadap 600 orang yang ikut serta dalam Aksi Bela Islam, kami berusaha memahami kaitan antara pandangan mengenai ketidakadilan sosial, kepatuhan terhadap moralitas Islam, dan aksi politik. Enam puluh lima persen responden kami adalah laki-laki, yang mencerminkan tingkat partisipasi perempuan yang lebih rendah; sedangkan sebanyak 109 orang adalah pegawai rendah hingga menengah di berbagai perusahaan swasta, serta mahasiswa (101 orang).

Kurang lebih separuh responden menyelesaikan pendidikan tinggi (51%) sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan tertinggi yang dicapai 47% responden kami. Tak kurang dari 44% responden melaporkan belanja rumah tangga bulanan antara Rp4,5 juta sampai Rp7 juta, yang menempatkan mereka dalam kelompok kelas menengah bawah atau di ambang batas kelas menengah. Partisipasi orang muda dalam Aksi Bela Islam signifikan; 60% responden berusia 20-an tahun, 18% berusia 30-an tahun, sedangkan yang berusia di atas 40 tahun hanya mencapai 14%.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa kecemasan mengenai ketidakadilan sosial berkaitan sangat erat dengan kekhawatiran terhadap masa depan di antara kalangan muslim muda terdidik yang memiliki aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atas. Sebagian besar responden mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada orang tua mereka, tetapi mereka tidak memiliki prospek pekerjaan yang pasti.

"Pendidikan gagal memenuhi janji"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun