Itulah sebabnya, para pasien kanker yang telah dinyatakan bersih sering menyebut pengalaman mereka sebagai "berdamai dengan kanker" dan menyebut dirinya sebagai "penyintas" kanker.
Sampai saat ini, para dokter belum dapat memberikan kepastian tentang faktor pemicu aktifnya sel kanker. Namun, beberapa faktor yang seringkali didapati di antaranya adalah pola hidup dan lingkungan yang kurang sehat, stres berkepanjangan, serta faktor genetik (meskipun persentasinya sangat kecil). Oleh karena itu, kanker dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang usia maupun tingkat sosial ekonomi. Walau demikian, kanker tidak perlu dipandang sebagai suatu teror yang berlebihan.
Sebagaimana penyakit tidak menular lainnya seperti diabetes, hipertensi, dan jantung, kanker selayaknya dipandang sebagai penyakit kronis yang dapat diatasi bila mendapatkan penanganan yang tepat, cepat, dan serius oleh tim medis yang kompeten, serta pola hidup yang sehat. Dengan demikian, niscaya para pasien akan dapat berdamai dengan penyakit yang tinggal di dalamnya dan tetap hidup sehat dalam jangka waktu yang panjang.
Media dalam Konstruksi Sosial terhadap Kanker
Media memegang peranan besar dalam terbentuknya persepsi menakutkan di masyarakat terhadap diagnosis kanker. Berbagai informasi medis terkait penyakit kanker yang beredar di masyarakat seringkali kalah dengan persepsi bias dan simpang siur yang dibentuk oleh media mainstream.Â
Bentuk dan metode penyampaian yang cenderung kaku dan sangat teknis mengakibatkan kurangnya minat masyarakat untuk menerima informasi dan penjelasan ilmiah dari para dokter. Pada akhirnya, secara tidak sadar persepsi masyarakat atas kanker justru lebih banyak dibentuk berdasarkan tayangan-tayangan hiburan yang populer, seperti sinetron, infotainment, dan variety show.
Sinetron, infotainment, dan variety show merupakan beberapa tayangan yang sangat populer dan efektif dalam membangun konstruksi berpikir kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama kelas pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah.
Sayangnya, ketiga tayangan ini sangat menggantungkan kesuksesannya pada capaian rating dari masyarakat, sementara masyarakat cenderung mengakses tayangan yang bersifat sebagai sarana hiburan ketimbang pendidikan. Akibatnya, tayangan yang bersifat menghibur dan mengolah emosi justru mendapatkan tingkat penerimaan dan rating yang tinggi di masyarakat, sekalipun secara keakuratan konten seringkali menjadi pertanyaan.
Kesedihan dan duka seringkali dieksploitasi sedemikian rupa demi menarik minat masyarakat dan memperoleh rating yang tinggi.
Hal ini yang kemudian menyebabkan sinetron, infotainment, dan variety show cenderung gencar mengisahkan kisah-kisah duka dari kanker, seperti kematian figur publik, penyakit kanker pada tokoh protagonis di sinetron untuk menambah simpati masyarakat akan kemalangan hidupnya, variety show yang mengekspolitasi derita pasien kanker, dan lain sebagainya.Â
Disadari atau tidak, hal itu membangun persepsi di alam bawah sadar audiens akan korelasi kanker dengan kematian.