Mohon tunggu...
Anissa Nurul Rokhimah
Anissa Nurul Rokhimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Dian Nusantara Fakultas Bisnis dan Ilmu Sosial | Akuntansi 121211038 Akuntansi Forensik Prof. Dr, Apollo, M. Si. Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea Untuk Business Villains di Indonesia

19 Juni 2024   22:53 Diperbarui: 19 Juni 2024   23:09 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mens Rea & Actus Reus By Prof Apollo

Pendahuluan

Sejarah konsep Actus Reus dan Mens Rea dalam konteks hukum pidana memberikan landasan yang kuat dalam penegakan hukum terhadap berbagai tindak kejahatan, termasuk dalam kasus "business villains" di Indonesia. Untuk memahami relevansinya, kita dapat melihat bagaimana pandangan Edward Coke, tokoh utama dalam perkembangan hukum pidana di Inggris pada abad ke-17, berperan dalam pembentukan konsep ini.

Edward Coke dikenal sebagai figur yang mempengaruhi hukum pidana dengan cara memperjelas perbedaan antara tindakan fisik (Actus Reus) dan unsur kesengajaan atau niat (Mens Rea) dalam melakukan suatu kejahatan. Actus Reus merujuk pada unsur tindakan fisik yang mengakibatkan dampak hukum, sementara Mens Rea mengacu pada unsur niat atau kesadaran pelaku atas tindakannya. Kedua konsep ini bersama-sama menentukan apakah seseorang dapat diproses atas suatu tindak pidana.

Di Indonesia, prinsip Actus Reus dan Mens Rea diadopsi dalam sistem hukum pidana yang mirip dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Meskipun demikian, implementasinya terkadang menghadapi tantangan dalam konteks "business villains" atau penjahat bisnis. Kasus-kasus seperti korupsi, penipuan, pencucian uang, dan pelanggaran keuangan lainnya sering kali melibatkan aspek kompleks yang melibatkan pertimbangan moral, etika bisnis, dan keadilan ekonomi.

Para "business villains" sering kali menggunakan strategi yang rumit dan terkadang melewati batas-batas hukum dalam mencapai tujuan bisnis mereka. Mereka dapat menggunakan celah-celah dalam regulasi atau bahkan melakukan manipulasi informasi untuk mencapai keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan dampak sosial atau kerugian yang mungkin ditimbulkan pada pihak lain.

Penerapan konsep Actus Reus dan Mens Rea dalam kasus "business villains" menjadi penting dalam menentukan kesalahan dan menjatuhkan sanksi yang sesuai. Actus Reus membantu untuk menetapkan apakah tindakan fisik yang dilakukan memenuhi standar hukum pidana yang diperlukan untuk dinyatakan sebagai kejahatan. Misalnya, apakah penggelapan dana atau pencucian uang telah terbukti secara konkret dalam praktik bisnis.

Sementara itu, Mens Rea menilai apakah pelaku memiliki niat jahat atau kesadaran atas dampak negatif dari tindakannya. Dalam konteks "business villains", Mens Rea dapat mengungkapkan apakah terdapat sengaja untuk mengelabui investor, menyembunyikan informasi keuangan, atau mengambil risiko yang tidak etis dalam operasi bisnis.

Edward Coke memperjuangkan prinsip bahwa untuk menetapkan seseorang bersalah atas suatu kejahatan, baik Actus Reus maupun Mens Rea harus terbukti di luar keraguan yang wajar. Kontribusinya membantu mengarahkan sistem hukum pidana pada prinsip keadilan dan keterbukaan, yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan hukum pidana di banyak negara, termasuk Indonesia.

Mens Rea & Actus Reus By Prof Apollo
Mens Rea & Actus Reus By Prof Apollo

Actus Reus: Tindakan yang Melekat

Actus Reus mengacu pada unsur fisik atau tindakan dari suatu kejahatan yang harus ada untuk dapat menuduh seseorang melakukan kejahatan tersebut. Dalam konteks bisnis di Indonesia, Actus Reus bisa berupa tindakan nyata seperti penipuan, pencurian, penggelapan, atau tindak kejahatan lain yang dilakukan oleh pelaku bisnis. Misalnya, penggelapan dana perusahaan, manipulasi laporan keuangan, atau pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual.

Penerapan Actus Reus dalam kasus-kasus bisnis di Indonesia seringkali melibatkan bukti konkret berupa transaksi keuangan, dokumen palsu, atau tindakan nyata yang merugikan pihak lain atau publik secara umum. Misalnya, penggelapan pajak yang melibatkan pengalihan aset perusahaan untuk menghindari kewajiban pajak yang seharusnya.

Mens Rea: Kesengajaan dan Niat Jahat

Mens Rea, di sisi lain, mengacu pada unsur subjektif dari suatu kejahatan, yaitu niat atau kesengajaan untuk melakukan tindakan yang terlarang atau merugikan pihak lain. Dalam konteks bisnis, Mens Rea bisa mencakup niat untuk menipu investor, sengaja menyembunyikan informasi penting, atau mengambil keuntungan pribadi yang tidak sah dari operasi perusahaan.

Penerapan Mens Rea seringkali lebih kompleks dalam konteks bisnis karena melibatkan analisis motivasi dan tujuan dari tindakan yang dilakukan. Misalnya, dalam kasus insider trading, Mens Rea akan berfokus pada apakah seorang individu secara sengaja menggunakan informasi internal yang rahasia untuk keuntungan pribadi, mengetahui bahwa tindakan tersebut melanggar hukum.

Corporate Crimes
Corporate Crimes

Kasus Kejahatan Korporasi Di Indonesia

Kasus Bank Century merupakan salah satu kontroversi besar dalam sejarah perbankan Indonesia. Dimulai dari krisis keuangan global pada 2008, Bank Century, yang pada awalnya bernama Bank CIC milik Robert Tantular, menghadapi masalah likuiditas serius. Pada bulan Oktober 2009, Bank Century berganti nama menjadi Bank Mutiara Tbk setelah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengambil alih mayoritas sahamnya. Namun, peristiwa yang mengguncang Indonesia adalah pengucuran dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun untuk menyelamatkan bank tersebut.

Kontroversi semakin memuncak ketika terungkap bahwa sebagian besar dana talangan tersebut tidak kembali, dengan dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan tindakan melawan hukum dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Desember 2012, menunjuk Budi Mulya dan Siti Fajriah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara akibat keputusan tersebut.

Pada Februari 2013, KPK secara resmi menetapkan Budi Mulya sebagai tersangka, dengan tuduhan melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan status bank gagal Century. Kasus ini mencapai puncaknya ketika Budi Mulya ditahan oleh KPK pada November 2013, setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan sidang.

Sidang terhadap Budi Mulya dimulai pada Maret 2014, di mana Jaksa kemudian menuntutnya dengan pidana penjara 17 tahun dan denda sebesar Rp 800 juta pada Juni 2014. Tuntutan ini didasarkan pada dugaan bahwa tindakan Budi Mulya dalam memberikan FPJP kepada Bank Century tanpa mematuhi prosedur yang benar telah merugikan keuangan negara sekitar Rp 7 triliun. Kasus ini tidak hanya menyoroti masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat bank sentral, tetapi juga menimbulkan polemik tentang kebijakan ekonomi pemerintah saat itu dalam menanggapi krisis keuangan.

Krisis Bank Century menjadi sorotan utama dalam sejarah keuangan Indonesia, terutama sejak pengambilalihan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan suntikan dana mencapai Rp 6,7 triliun untuk mendukung Bank Mutiara, yang sebelumnya dikenal sebagai Bank Century. Gubernur Bank Indonesia saat itu, Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, berpendapat bahwa tindakan penyelamatan itu penting untuk menjaga stabilitas pasar keuangan yang sedang terguncang oleh krisis global pada masa itu.

Namun, keputusan tersebut mendapat sorotan tajam dari DPR. Mereka menyoroti peningkatan signifikan dari proposal awal sebesar Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun, yang dipandang sebagai pembengkakan yang tidak masuk akal. DPR juga mengkritik bahwa alasan efek domino dari potensi kejatuhan Bank Century tidaklah cukup kuat, mengingat besaran aset bank ini yang relatif kecil dalam struktur perbankan nasional.

Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada November 2009 menemukan sembilan kejanggalan dalam proses penyelamatan, termasuk kurangnya transparansi dalam pengawasan dan informasi yang disediakan oleh Bank Indonesia tentang kondisi sebenarnya Bank Century saat itu. Kritik juga mengarah pada dugaan penyaluran dana talangan ke rekening nasabah tertentu, termasuk dugaan terhadap Boedi Sampoerna, yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan pada saat itu.

Sri Mulyani, yang pada saat itu menjadi Menteri Keuangan, bersikeras bahwa tindakan penyelamatan Bank Century sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dia menegaskan bahwa dana yang disalurkan oleh LPS adalah penyertaan modal, bukan talangan, dan bahwa dana tersebut masih dapat dikembalikan.

Penyelidikan yang dilakukan oleh Panitia Khusus DPR untuk Bank Century juga mencoba mengungkapkan apakah ada pelanggaran hukum dalam proses penyelamatan ini dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Kontroversi seputar Bank Century tidak hanya menyoroti masalah keuangan dan regulasi perbankan, tetapi juga menampilkan dinamika politik yang kompleks di tingkat pemerintahan dan pengawasan keuangan nasional. 

Actus reus dalam kasus Bank Century merujuk pada tindakan konkret yang dilakukan oleh Budi Mulya dan Siti Fajriah yang menyebabkan kerugian negara. Hal ini terutama terkait dengan keputusan memberikan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century tanpa mematuhi prosedur yang benar. FPJP ini merupakan salah satu dari beberapa langkah yang diambil untuk menyelamatkan bank tersebut dari kebangkrutan selama krisis keuangan global tahun 2008. Tindakan ini dianggap melanggar aturan yang ada dan berkontribusi pada kerugian keuangan negara yang signifikan, diperkirakan mencapai Rp 7 triliun.

Sementara itu, mens rea atau unsur kesalahan dalam kasus ini melibatkan niat atau kesengajaan dalam melaksanakan tindakan yang dianggap melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang. Budi Mulya sebagai salah satu dari pihak yang terlibat dalam memberikan FPJP kepada Bank Century, didakwa dengan tuduhan melanggar hukum terkait pemberian fasilitas tersebut tanpa memperhatikan prosedur yang seharusnya. Meskipun motivasi di balik tindakannya mungkin bermaksud untuk menyelamatkan stabilitas keuangan pada saat krisis, pengadilan menganggap bahwa cara yang dipilihnya tidak sah dan merugikan negara.

Kasus ini mengilustrasikan pentingnya memahami dan membedakan antara actus reus, yang mencakup perbuatan fisik atau konkret yang dilakukan, dan mens rea, yang mencakup niat atau kesengajaan di balik perbuatan tersebut. Dalam konteks Bank Century, baik Budi Mulya maupun Siti Fajriah dianggap bertanggung jawab atas tindakan yang berkontribusi pada keputusan kontroversial tersebut, yang pada akhirnya memicu konsekuensi hukum dan politik yang signifikan di Indonesia.

Bank Century
Bank Century

Tantangan Penegakan Hukum Di Indonesia 

Penegakan hukum di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan beragam, yang tercermin dalam kasus seperti Bank Century. Tantangan-tantangan ini mencakup beberapa aspek krusial yang mempengaruhi keefektifan dan keadilan sistem hukum di negara ini.

Pertama-tama, salah satu tantangan utama adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan elit politik dan ekonomi. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional, sering kali menunjukkan bahwa pelaku tidak jarang luput dari pertanggungjawaban hukum. Hal ini dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan pemerintah secara keseluruhan. Meskipun terdapat upaya pemberantasan korupsi melalui lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi koordinasi yang baik antara lembaga penegak hukum dan tingkat transparansi yang lebih tinggi tetap menjadi tantangan.

Kedua, dalam konteks Bank Century, transparansi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah dan lembaga keuangan menjadi masalah serius. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan kejanggalan dalam proses penyelamatan bank tersebut menggambarkan perlunya peningkatan dalam pengawasan dan akuntabilitas. Informasi yang tidak transparan atau disampaikan tidak lengkap dapat mengaburkan tanggung jawab sebenarnya dari pihak yang terlibat, seperti yang terjadi dalam penanganan kasus Bank Century.

Ketiga, sistem peradilan yang lambat dan rentan terhadap intervensi politik juga merupakan tantangan signifikan. Lambatnya proses pengadilan dapat menghambat keadilan yang cepat dan efektif bagi masyarakat yang mencari keadilan. Selain itu, intervensi politik dalam penegakan hukum dapat mengakibatkan ketidaknetralan atau bahkan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan hukum.

Keempat, masalah kapasitas dan kualitas sumber daya manusia di lembaga penegak hukum juga menjadi kendala. Pelatihan yang tidak memadai, rendahnya motivasi, dan bahkan korupsi di internal lembaga-lembaga tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk menyelidiki, menuntut, dan mengadili kasus-kasus kompleks seperti korupsi atau kejahatan korporasi. Reformasi dalam pengembangan dan peningkatan SDM di sektor hukum menjadi sangat penting untuk memperbaiki kualitas penegakan hukum secara keseluruhan.

Kelima, tantangan lainnya adalah harmonisasi peraturan hukum yang sering kali bertentangan atau tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi yang buruk antara pemerintah pusat dan daerah dapat menyulitkan penegakan hukum yang konsisten di seluruh Indonesia. Perlunya revisi dan penyederhanaan regulasi hukum juga menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan kejelasan dan kepastian hukum bagi semua pihak.

Terakhir, tantangan global seperti perdagangan narkoba, perdagangan manusia, dan kejahatan transnasional lainnya juga menantang kapasitas lembaga penegak hukum di Indonesia. Perlunya kerja sama internasional yang lebih baik dan koordinasi lintas batas menjadi krusial dalam mengatasi kejahatan yang melintasi perbatasan negara.

Secara keseluruhan, meskipun Indonesia telah melakukan berbagai reformasi dalam sistem peradilan dan lembaga penegak hukumnya, masih ada banyak tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan efektivitas, transparansi, dan keadilan dalam penegakan hukum. Kasus Bank Century dan kontroversinya memperlihatkan betapa pentingnya upaya terus menerus untuk memperbaiki sistem hukum dan kebijakan publik, serta untuk menguatkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam setiap langkah pemerintahan.

Kesimpulan

Kesimpulan dari analisis tentang tantangan penegakan hukum di Indonesia, terutama yang tercermin dari kasus Bank Century, menyoroti perluasan koordinasi yang lebih baik antara lembaga penegak hukum, peningkatan transparansi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah dan lembaga keuangan, serta perlunya reformasi dalam sistem peradilan yang memastikan independensi, kecepatan, dan keadilan. Tantangan seperti korupsi yang melibatkan elit politik dan ekonomi, lambatnya proses pengadilan, serta kapasitas yang perlu ditingkatkan dalam lembaga penegak hukum menunjukkan bahwa Indonesia perlu terus memperbaiki struktur hukumnya untuk memastikan penegakan hukum yang efektif, transparan, dan adil bagi seluruh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun