Mohon tunggu...
A. Anindita
A. Anindita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Perempuan dua puluhan, menulis secara amatiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Mo Menghilang

3 Mei 2016   17:48 Diperbarui: 4 Mei 2016   23:42 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir semua lukisanku didominasi warna kuning cerah, kuning merfleksikan kebahagiaan bagiku. Bahkan Van Gogh saja sampai menelan cat berwarna kuning agar ia bisa merasakan kebahagiaan. Itu bukan salah satu contoh yang menyenangkan, namun ia tetap menjadi pelukis favoritku. Semua goresannya, berbicara lebih indah daripada aslinya menurutku.

Aku ingat lukisan bunga matahari yang tercecer di samping kebunnya, aku memberinya judul Musim Panen. Saat itu aku masih kuliah dan baru tertarik dengan segala hal yang berbau lukisan.

Kebanyakan lukisan bertema beberapa bunga yang dikombinasikan dengan latar yang beragam, namun pemeran utamanya tetaplah bunga. Mungkin untuk yang lain terlihat membosankan, namun justru hal yang sederhana semacam itu yang mampu memikat hatiku.

Di sudut ruangan ada tumpukan kanvas yang tertutup kain. Aku tak ingat kapan aku menaruhnya di sana. Aku selalu menggantung lukisanku, atau menaruhnya berjejer bersandar dinding, semua tergantung ukuran dan kemauanku. Mungkinkah aku lupa kalau lukisan-lukisan itu adalah yang kuanggap gagal? Tapi bahkan lukisan dandelionku yang berantakan tetap kugantung di dinding. Penasaran aku membuka kain penutup tumpukan itu.

Aku tak percaya dengan apa yang ada pada lukisan itu. Ada lima lukisan yang tiap goresannya terasa penuh amarah yang bercampur kesedihan. Dominasi warna merah dan biru pekat memenuhi semua lukisan itu. Anehnya semua ditandatangani olehku. Tapi kenapa aku tak ingat pernah membuatnya? Lantas mengapa aku melukis semua hal itu?

Aku merasa begitu pusing. Aku bergegas keluar dari ruang bawah tanah dan menelepon ibu untuk memintanya datang dan menenangkanku.

Sungguh aku tak ingat. Kini semua kenangan tentang Mo muncul silih-berganti, bercampur lukisan-lukisan aneh itu. Aku menyesap teh perlahan dan duduk di sofa. Aku mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Dane. Tapi aneh, kenapa nomornya tidak ada?

***

“Aku tidak mengerti, semua lukisan itu seperti aku yang membuat, tapi aku tak pernah ingat kapan. Dan juga barusan kenapa tiba-tiba di ponselku tidak ada nomor Dane? Aku rasa aku tak pernah menghapus kontaknya.”

Ibu menghela napas panjang, dan melihatku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, mungkin antara lelah, sedih, dan juga kasihan bercampur jadi satu.

“Sebenarnya kita sudah pernah bicara ini berkali-kali Poe.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun