Mohon tunggu...
Anissa Citra Anjani
Anissa Citra Anjani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sejarah Panjang Brexit, Pilihan Terbaik atau Berujung Penyesalan?

8 Desember 2022   11:22 Diperbarui: 8 Desember 2022   11:37 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Kompas.com

Menilik Peristiwa Brexit oleh Inggris

European Union  atau dikenal sebagai Uni Eropa (UE) merupakan sebuah organisasi besar antarnegara yang terdapat di benua Eropa. Tercatat hingga Januari 2020 beranggotakan 27 negara. Organisasi ini bergerak dibidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Awal berdirinya, pada tahun 1957, organisasi ini bernama European Economic Community, dan hanya fokus pada bidang ekonomi. Lalu bertambah fungsi untuk bergerak dibidang kemanusiaan dan juga politik. Selanjutnya, berubah nama menjadi Uni Eropa (European Union) seperti yang saat ini dikenal.

Keluarnya Britania Raya (UK) dari Uni Eropa memiliki faktor tersendiri. Hal ini dimulai dari 20 tahun lalu, ketika Inggris sudah merasa memiliki perbedaan pandangan dan pendapat dengan Uni Eropa, seperti adanya pembentukan pasar tunggal (1993) dan Maastricht treaty (1992). 

Faktor utama keluarnya UK dari Uni Eropa, adalah pada saat UE membentuk sebuah sistem untuk para pekerja di wilayah Uni Eropa dapat bergerak lepas di wilayah UE tanpa terhalang oleh batas wilayah negara. sistem ini bertujuan untuk mencapai pemerataan bagi negara anggota UE. 

Tetapi, UK memiliki pandangan bahwa batas wilayah negara seharusnya tetap menjadi wilayah kekuasaan mutlak bagi pemerintah negara tersebut dalam mengelola termasuk memberi atau menolak izin pada siapapun yang ingin masuk ke negaranya dan juga sistem tersebut memungkinkan munculnya tidak kejahatan transnasional dengan mudah, serta UK merasa keuntungannya sebagai anggota Uni Eropa tidak sebanding dengan apa yang dikeluarkan untuk UE. UK menganggap negaranya dirugikan karena banyaknya imigran, sedangkan masyarakat Inggris yang melakukan emigran sedikit.

Pengunduran UK dari Uni Eropa bermula dari referendum publik pada Juni 2016 di Inggris mengenai apakah negara tersebut akan tetap menjadi anggota UE atau keluar. Pemilih di UK yang setuju meninggalkan Uni Eropa sebesar 52% dan yang menolak sebesar 48%. Beberapa faktor sangat mempengaruhi hasil akhir ini, termasuk ketidakpuasan di berbagai bidang seperti peraturan kebijakan dan ekonomi, kekhawatiran akan globalisasi dan imigrasi. Pemerintah UK memberlakukan hasil referendum Brexit pada Maret 2017.

Politik di UK dan Uni Eropa

Tahun 2016, Perdana Menteri Britania Raya, David Cameron seorang anggota Partai Konservatif yang pro terhadap Uni Eropa dan pada saat itu memberi izin untuk diadakannya referendum. Semula, ia beranggapan bahwa hasil referendum nantinya Brexit akan gagal, tetapi hasil dari referendum ini diluar dugaan. David merasa kecewa terhadap hasil referendum bahwa 52% warga Britania Raya setuju untuk keluar dari UE. 

Akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dan digantikan oleh Theresa May, yang juga merupakan anggota Partai Konservatif dan ia juga pro terhadap Eropa. Theresa Mey bertugas mendampingi gerakan Brexit hingga selesai. 

Theresa menginginkan Brexit ini berakhir dengan baik (soft), yang berarti tidak sepenuhnya Brexit. Ia ingin tetap ada hubungan dagang dengan Uni Eropa . Sayangnya, pengganti Theresa Mey yaitu Boris Johnson, sangat pro-Brexit dan menginginkan putus hubungan dengan Uni Eropa seutuhnya disegala bidang.

Karena pergantian perdana menteri yang tidak sejalan ini, (ada yang menginginkan soft Brexit dan hard Brexit) membuat persoalan Brexit tidak kunjung menemukan jalan terang. Uni Eropa sendiri juga dilanda kekhawatiran karena tidak dapat dimungkiri bahwa Uni Eropa membutuhkan UK yang merupakan negara kaya sebagai pemberi dana terbesar (kedua setelah Jerman) setiap tahunnya kepada Uni Eropa dan UK memiliki market yang besar. 

Namun, negosiasi antar Uni Eropa dengan UK ternyata sangat rumit dan panjang. Uni Eropa pun tidak memberikan soft Brexit yang memudahkan, artinya UE tidak mau sampai ada negara lain yang berpikir bahwa ternyata UK mendapatkan deal yang lebih baik dibandingkan saat bergabung dengan UE. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan perpecahan di dalam organisasi Uni Eropa itu sendiri.

 Uni Eropa berupaya agar UK merasa rugi telah meninggalkan UE. Hal ini juga diharapkan menjadi sebuah pelajaran bagi negara-negara anggota Uni Eropa lainnya untuk tidak keluar. Politisi yang pro-Brexit juga mengkampanyekan bahwa bergabung dengan Uni Eropa berbahaya karena sebentar lagi Turki akan bergabung dengan UE.  

Dalam kampanyenya, Michael Andrew Gove, seorang jurnalis dan politikus Partai Konservaif mengatakan "With the terrorism threat we face only growing, it is hard to see how it could possibly be in our security interests to open visa-free travel to 77 million Turkish citizens and to create a border-free zone from Iraq, Iran and Syria to the English Channel." 

Gove menganggap jika UK masih menjadi anggota Uni Eropa lalu Turki juga menjadi anggota UE maka lalu lintas orang-orang Iraq, Iran dan Suriah akan bebas melalui Turki menuju Inggris. Faktanya,  Turki sangat jauh berkemungkinan untuk berhasil bergabung menjadi anggota Uni Eropa. 

Dilema dan Dampak Brexit

Terdapat empat negara dalam kedaulatan Britania Raya yang masing-masing berdiri sendiri; Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan Wales. Dari keempat negara tersebut yang paling pro terhadap Brexit adalah Inggris dan Wales. 

Sedangkan yang pro terhadap Uni Eropa yaitu Irlandia Utara dan Skotlandia, lantaran ekonomi di dua negara ini tidak sebesar Inggris. Mereka tetap membutuhkan hubungan dagang dengan Uni Eropa. Sementara itu, Inggris merasa tidak membutuhkan Uni Eropa karena ekonomi negara tersebut sudah maju. 

Setelah hasil referendum keluar, Skotlandia bimbang untuk keluar dari UK agar tetap bisa berhubungan dengan Eropa. Tetapi, hubungan dagang Skotlandia sebagian besar dengan Inggris, bukan Eropa. Jika Skotlandia keluar dari UK maka ia akan kehilangan Inggris. Begitulah dilema yang terjadi dalam gerakan Brexit ini.

Menangnya Brexit dalam referendum mengakibatkan  nilai mata uang UK (Pound) terus menurun. Penurunan Pound ini sangat merugikan rakyat karena perusahaan-perusahaan di UK lebih banyak impor bahan baku dan harganya menjadi lebih mahal. Regulasi dan mata uang yang turun merupakan beberapa faktor yang membuat UK mengalami krisis ekonomi. 

Saat ini banyak masyarakat UK yang menyesal memilih untuk Brexit. Dilansir dari YouGov.co.uk, hasil survei 2022 menyatakan bahwa terdapat 68% masyarakat UK menginginkan untuk tetap bergabung bersama Uni Eropa. Namun, suara tersebut sudah sia-sia. 

Dari hal ini, banyak politisi yang menjanjikan angin surga, berjanji bahwa setelah Brexit mereka akan "merdeka", tetapi nyatanya semakin memburuk. Kemudian, berbicara bahwa tidak masalah kehilangan perjanjian dagang dengan Uni Eropa, kita (Inggris) bisa membuat perjanjian dagang sendiri dengan negara-negara lain. Akan tetapi, pada kenyataannya membuat perjanjian dagang pun sangatlah sulit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun