Mohon tunggu...
Anissa Citra Anjani
Anissa Citra Anjani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sejarah Panjang Brexit, Pilihan Terbaik atau Berujung Penyesalan?

8 Desember 2022   11:22 Diperbarui: 8 Desember 2022   11:37 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Kompas.com

Namun, negosiasi antar Uni Eropa dengan UK ternyata sangat rumit dan panjang. Uni Eropa pun tidak memberikan soft Brexit yang memudahkan, artinya UE tidak mau sampai ada negara lain yang berpikir bahwa ternyata UK mendapatkan deal yang lebih baik dibandingkan saat bergabung dengan UE. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan perpecahan di dalam organisasi Uni Eropa itu sendiri.

 Uni Eropa berupaya agar UK merasa rugi telah meninggalkan UE. Hal ini juga diharapkan menjadi sebuah pelajaran bagi negara-negara anggota Uni Eropa lainnya untuk tidak keluar. Politisi yang pro-Brexit juga mengkampanyekan bahwa bergabung dengan Uni Eropa berbahaya karena sebentar lagi Turki akan bergabung dengan UE.  

Dalam kampanyenya, Michael Andrew Gove, seorang jurnalis dan politikus Partai Konservaif mengatakan "With the terrorism threat we face only growing, it is hard to see how it could possibly be in our security interests to open visa-free travel to 77 million Turkish citizens and to create a border-free zone from Iraq, Iran and Syria to the English Channel." 

Gove menganggap jika UK masih menjadi anggota Uni Eropa lalu Turki juga menjadi anggota UE maka lalu lintas orang-orang Iraq, Iran dan Suriah akan bebas melalui Turki menuju Inggris. Faktanya,  Turki sangat jauh berkemungkinan untuk berhasil bergabung menjadi anggota Uni Eropa. 

Dilema dan Dampak Brexit

Terdapat empat negara dalam kedaulatan Britania Raya yang masing-masing berdiri sendiri; Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan Wales. Dari keempat negara tersebut yang paling pro terhadap Brexit adalah Inggris dan Wales. 

Sedangkan yang pro terhadap Uni Eropa yaitu Irlandia Utara dan Skotlandia, lantaran ekonomi di dua negara ini tidak sebesar Inggris. Mereka tetap membutuhkan hubungan dagang dengan Uni Eropa. Sementara itu, Inggris merasa tidak membutuhkan Uni Eropa karena ekonomi negara tersebut sudah maju. 

Setelah hasil referendum keluar, Skotlandia bimbang untuk keluar dari UK agar tetap bisa berhubungan dengan Eropa. Tetapi, hubungan dagang Skotlandia sebagian besar dengan Inggris, bukan Eropa. Jika Skotlandia keluar dari UK maka ia akan kehilangan Inggris. Begitulah dilema yang terjadi dalam gerakan Brexit ini.

Menangnya Brexit dalam referendum mengakibatkan  nilai mata uang UK (Pound) terus menurun. Penurunan Pound ini sangat merugikan rakyat karena perusahaan-perusahaan di UK lebih banyak impor bahan baku dan harganya menjadi lebih mahal. Regulasi dan mata uang yang turun merupakan beberapa faktor yang membuat UK mengalami krisis ekonomi. 

Saat ini banyak masyarakat UK yang menyesal memilih untuk Brexit. Dilansir dari YouGov.co.uk, hasil survei 2022 menyatakan bahwa terdapat 68% masyarakat UK menginginkan untuk tetap bergabung bersama Uni Eropa. Namun, suara tersebut sudah sia-sia. 

Dari hal ini, banyak politisi yang menjanjikan angin surga, berjanji bahwa setelah Brexit mereka akan "merdeka", tetapi nyatanya semakin memburuk. Kemudian, berbicara bahwa tidak masalah kehilangan perjanjian dagang dengan Uni Eropa, kita (Inggris) bisa membuat perjanjian dagang sendiri dengan negara-negara lain. Akan tetapi, pada kenyataannya membuat perjanjian dagang pun sangatlah sulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun