Niat awal menikmati dan mengabadikan pemandangan matahari terbenam dari ketinggian. Terjadi sesuatu di luar rencana, dan kami menyaksikan pemandangan yang lebih memukau.
Teman saya ingin memotret matahari terbit dari Punthuk Setumbu di dekat Candi Borobudur. Tapi, jaraknya lumayan jauh dari Yogya. Lagi pula saat itu sedang musim mudik lebaran, jadi saya pikir jalan ke sana akan macet. Karena itu, saya menawarinya tempat lain yang sama-sama menjadikan ketinggian sebagai daya tarik.
Alternatif pertama adalah Hutan Pinus Mangunan. Di hutan wisata ini, terdapat semacam rumah-rumah pohon, tapi tanpa dinding, hanya berupa panggung kecil yang diletakkan di bagian atas pohon. Saya pikir, kalau kami beruntung, tentu kami bisa menyaksikan pemandangan matahari terbenam dari puncak pohon.
Kalau teman saya menganggap Hutan Pinus kurang menarik, kami bisa melanjutkan ke alternatif kedua, yaitu Puncak Becici. Kedua tempat ini berada dalam satu jalur jalan sehingga lebih mudah diakses. Keduanya hanya terpisah jarak sekitar enam kilometer, yang tetap terasa jauh karena jalur jalannya berkelok-kelok dan naik-turun di tengah hutan.
Hutan Pinus Mangunan dan Puncak Becici terletak di sisi barat lereng pegunungan yang tersambung dengan bentangan pegunungan kapur Gunung Kidul. Tapi, kedua tempat ini masuk termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bantul.
Kami berangkat naik sepeda motor dari Yogya sekitar pukul setengah lima sore, menyusuri Jalan Imogiri Timur yang padat dengan para pengendara yang pulang kerja. Di Imogiri, kami mengikuti jalan yang menuju ke Makam Raja-raja Mataram, tapi kemudian berbelok ke kanan di pertigaan terakhir sebelum mencapai makam keramat tersebut.
Mesin motor segera mengerang karena jalan langsung menanjak dan berliku-liku. Kadang-kadang, tanjakannya menjulur lurus sehingga motor hanya bisa merayap. Tapi, udara di sepanjang jalan terasa sejuk. Lebih banyak pepohonan di kiri kanan jalan. Ada juga ladang tebu kecil. Di beberapa bagian, jurang menganga tak jauh dari tepi jalan.
Di sebuah tikungan, di sisi kiri jalan, kami dapat melihat bangunan-bangunan di Makam Raja-raja. Saya menawari teman saya untuk berhenti dan memotret, tapi dia menolak. Kami pun terus berjalan dan sekitar setengah jam setelah berangkat, kami tiba di Hutan Pinus Mangunan.
Kami berhenti di tepi jalan dan mengamati suasana. Sudah sangat redup ketika kami tiba di hutan kecil itu karena pepohonan yang tumbuh tinggi menghalangi sinar matahari. Walaupun begitu, masih cukup banyak pengunjung yang hilir-mudik. Dari raut wajahnya, saya tahu teman saya kecewa.
Saya merasa kami akan kesulitan mendapatkan rumah pohon karena banyaknya pengunjung, yang tentu juga ingin mencobanya. Jadi, kami memutuskan untuk mencoba memburu senja di Puncak Becici saja. Kami tinggal menyusuri jalan ke arah utara. Ada beberapa tempat menarik di sepanjang jalan, tapi kami sudah punya tujuan akhir, jadi kami lewati saja.
Udara telah menjadi begitu redup saat kami tiba di area Puncak Becici. Saya sempat ragu apakah bisa mendapatkan pemandangan sunset yang merupakan tujuan utama kami.
Selepas pintu masuk, saya merasa motor oleng dan berhenti sebentar untuk memeriksa. Ban roda belakang terlihat kempis. Ketika dipijit, pelek yang keras dapat terasa. Sudah jelas: ban itu bocor. Untung sudah dekat tempat parkir. Petugas parkir memberi tahu bahwa ada bengkel tak jauh dari pintu masuk, jadi saya tidak terlalu khawatir.
Area itu sudah lumayan sepi. Trek menuju puncak cukup datar dan tidak begitu panjang. Kami berjalan di antara pepohonan pinus yang tinggi hingga tampak seperti jajaran pilar yang menopang langit. Tidak banyak pengunjung yang tersisa ketika kami tiba di puncak. Tapi kami mengeluh karena bongkahan awan tebal menggantung di atas cakrawala barat.
Kami gagal mendapatkan sunset. Tapi, kami tidak memutuskan untuk langsung pulang, melainkan menunggu dulu barang beberapa menit untuk beristirahat. Saya duduk di bangku kayu di gazebo sederhana dan melingkarkan lengan saya pada sandaran. Saya takut ketinggian, dan ketika melihat pemandangan di bawah, lutut saya gemetar.
Pemandangan di bawah sana pada saat hari masih terang, menurut saya, tidak begitu istimewa karena bisa juga didapatkan di puncak-puncak lain. Ada rumah-rumah dan lahan persawahan yang tampak seperti miniatur, bukit-bukit lain yang lebih rendah, tiang-tiang SUTET, dan jalur-jalur jalan timbul tenggelam di antara pepohonan.
Kemudian angin khas pegunungan mulai berembus lebih kencang. Untung saya mengenakan jaket gunung windproof. Saat udara semakin gelap, suara angin yang menerpa pepohonan menimbulkan bayangan macam-macam. Seolah-olah saya dapat mendengar ada suara orang berbicara, timbul tenggelam di antara suara-suara lain.
Saya melirik petilasan kecil yang terbuat dari keramik tak jauh dari tempat saya duduk. Berbagai bayangan segera muncul di benak saya sehingga saya cepat-cepat mengalihkan pandangan –dan terpukau.
Pemandangan di bawah sana telah berubah menjadi lautan bintang. Noktah-noktah bercahaya, dalam berbagai ukuran, bertaburan dan berkerlipan dalam bentangan warna hitam yang luas dan pekat. Mata saya seperti tak ingin berkedip karena mendapatkan santapan yang begitu lezatnya.
Selama beberapa saat, saya sempat merasa bahwa langit telah meluaskan bentangannya hingga meliputi bumi. Saya baru bisa menyadari bahwa bumi tetap bumi dan langit tetap langit saat melihat garis hitam panjang di cakrawala. Warna hitam di bawah lebih pekat daripada warna hitam di atas.
Saat saya mendongak lebih tinggi, tampak bintang-bintang ciptaan Tuhan Yang Maha Agung telah berserakan mengisi langit yang entah kapan mulai menjadi gelap. Saya menunduk lagi dan memastikan bahwa kerlap-kerlip cahaya di bawah sana memang bintang, tapi bintang yang dibuat oleh manusia.
Saat teringat pemandangan dari puncak ini kala hari masih terang, dan membandingkannya dengan lautan bintang itu, saya teringat baris dalam salah satu sajak Ajip Rosidi, yang mungkin paling baik mendeskripsikan kerlap-kerlip bintang buatan jauh di bawah sana dengan kata-kata: “kecerlangan siang digantikan kecerlangan malam”.
Teman saya kini sudah bisa tersenyum dan sibuk dengan kamera SLR-nya yang canggih. Lengan saya masih melingkar pada sandaran dan lutut saya masih lemas, tapi kini lebih tenang karena saya lebih memperhatikan lautan bintang buatan di bawah.
Setelah mengganti ban yang bocor, kami mengalami petualangan lain dalam perjalanan pulang. Kami menyusur balik jalan berangkat, yang berarti melewati jalur di tengah hutan yang tanpa penerangan jalan sama sekali. Syukurlah, kami tiba dengan selamat di rumah, dengan membawa oleh-oleh berharga: foto lautan bintang dari Puncak Becici.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H