Mohon tunggu...
An Ismanto
An Ismanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jalan. Jalan. Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Lautan Bintang di Puncak Becici

29 Juli 2016   04:33 Diperbarui: 29 Juli 2016   04:50 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selepas pintu masuk, saya merasa motor oleng dan berhenti sebentar untuk memeriksa. Ban roda belakang terlihat kempis. Ketika dipijit, pelek yang keras dapat terasa. Sudah jelas: ban itu bocor. Untung sudah dekat tempat parkir. Petugas parkir memberi tahu bahwa ada bengkel tak jauh dari pintu masuk, jadi saya tidak terlalu khawatir.

Area itu sudah lumayan sepi. Trek menuju puncak cukup datar dan tidak begitu panjang. Kami berjalan di antara pepohonan pinus yang tinggi hingga tampak seperti jajaran pilar yang menopang langit. Tidak banyak pengunjung yang tersisa ketika kami tiba di puncak. Tapi kami mengeluh karena bongkahan awan tebal menggantung di atas cakrawala barat.

Kami gagal mendapatkan sunset. Tapi, kami tidak memutuskan untuk langsung pulang, melainkan menunggu dulu barang beberapa menit untuk beristirahat. Saya duduk di bangku kayu di gazebo sederhana dan melingkarkan lengan saya pada sandaran. Saya takut ketinggian, dan ketika melihat pemandangan di bawah, lutut saya gemetar.

Pemandangan di bawah sana pada saat hari masih terang, menurut saya, tidak begitu istimewa karena bisa juga didapatkan di puncak-puncak lain. Ada rumah-rumah dan lahan persawahan yang tampak seperti miniatur, bukit-bukit lain yang lebih rendah, tiang-tiang SUTET, dan jalur-jalur jalan timbul tenggelam di antara pepohonan.

Kemudian angin khas pegunungan mulai berembus lebih kencang. Untung saya mengenakan jaket gunung windproof. Saat udara semakin gelap, suara angin yang menerpa pepohonan menimbulkan bayangan macam-macam. Seolah-olah saya dapat mendengar ada suara orang berbicara, timbul tenggelam di antara suara-suara lain.

Saya melirik petilasan kecil yang terbuat dari keramik tak jauh dari tempat saya duduk. Berbagai bayangan segera muncul di benak saya sehingga saya cepat-cepat mengalihkan pandangan –dan terpukau.

Pemandangan di bawah sana telah berubah menjadi lautan bintang. Noktah-noktah bercahaya, dalam berbagai ukuran, bertaburan dan berkerlipan dalam bentangan warna hitam yang luas dan pekat. Mata saya seperti tak ingin berkedip karena mendapatkan santapan yang begitu lezatnya.

Selama beberapa saat, saya sempat merasa bahwa langit telah meluaskan bentangannya hingga meliputi bumi. Saya baru bisa menyadari bahwa bumi tetap bumi dan langit tetap langit saat melihat garis hitam panjang di cakrawala. Warna hitam di bawah lebih pekat daripada warna hitam di atas.

Saat saya mendongak lebih tinggi, tampak bintang-bintang ciptaan Tuhan Yang Maha Agung telah berserakan mengisi langit yang entah kapan mulai menjadi gelap. Saya menunduk lagi dan memastikan bahwa kerlap-kerlip cahaya di bawah sana memang bintang, tapi bintang yang dibuat oleh manusia.

Saat teringat pemandangan dari puncak ini kala hari masih terang, dan membandingkannya dengan lautan bintang itu, saya teringat baris dalam salah satu sajak Ajip Rosidi, yang mungkin paling baik mendeskripsikan kerlap-kerlip bintang buatan jauh di bawah sana dengan kata-kata: “kecerlangan siang digantikan kecerlangan malam”.

Teman saya kini sudah bisa tersenyum dan sibuk dengan kamera SLR-nya yang canggih. Lengan saya masih melingkar pada sandaran dan lutut saya masih lemas, tapi kini lebih tenang karena saya lebih memperhatikan lautan bintang buatan di bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun