Mohon tunggu...
Anis Lotus
Anis Lotus Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Membuatmu Hidup

Seorang ibu rumah tangga yang senang menulis apa saja yang bermanfaat untuk orang lain

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hidup Aman dan Nyaman dengan Produk Halal

2 November 2017   13:38 Diperbarui: 2 November 2017   14:29 2753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya" (Al Maidah : 88)

Sebagai umat Islam, kita diwajibkan mengkonsumsi makanan yang halal dan baik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Al-Quran dan Hadist. Permasalahannya adalah, tidak semua produk yang kita beli di toko atau supermarket terdapat jaminan halalnya. Seperti isu yang beberapa waktu lalu tersebar, bahwa produk-produk ramen korea yang mengandung babi telah beredar di Indonesia. Padahal saya telah mecoba salah satu produk dari ramen korea tersebut. 

Tidak hanya makanan, terdapat beberapa produk kosmetik dan obat-obatan yang juga diisukan mengandung lemak babi. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran dan perasaan tidak nyaman. Sebagai umat islam yang hidup di negara yang mayoritas Islam, kita masih belum merasa aman untuk mengkonsumsi produk yang beredar di dalam negeri.

Isu seperti ini sebenarnya sudah terjadi sebelumnya, yaitu pada Tahun 1988. Kala itu terjadi kehebohan di berbagai surat kabar di Indonesia. Isu produk makanan mengandung lemak babi merebak karena dipicu oleh hasil penelitian dari Dr Ir H Tri Susanto M App Sc, dosen Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Berita tersebut tidak hanya menimbulkan kekhawatiran masyarakat sebagai konsumen, tapi juga merugikan berbagai produsen makanan. Para produsen makanan terkait mengaku merugi karena mengalami penurunan omset sebesar 20% hingga 40%.

Kejadian tersebut menyadarkan berbagai pihak bahwa sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia, Indonesia memerlukan jaminan produk halal dari pemerintah. Akhirnya MUI sebagai lembaga lintas ormas yang dekat dengan pemerintah mengadakan pertemuan untuk membahas isu ini. Hingga pada tahun 1989 terbentuklah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Tugas LPPOM MUI adalah melakukan Pemeriksaan produk halal yang disebut dengan sertifikasi produk halal. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan jaminan produk halal bagi masyarakat. Dalam prakteknya, produsen produk harus menerapkan Sistem Jaminan Halal untuk menjaga proses produksi halal berjalan sesuai dengan aturan yang  ditetapkan oleh LPPOM MUI.

Pemerintah saat itu belum menetapkan kebijakan khusus terkait jaminan produk halal, namun bersama dengan berdirinya LPPOM MUI pemerintah akhirnya melakukan sinkonisasi kebijakan terhadap peran dan tugas LPPOM MUI. Pada tanggal 21 Juni 1996 diselenggarakan penandatanganan piagam kerjasaman antara Departemen Kesehatan,  Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia.  

Setelah itu Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 924/MENKES/SK/VIII/1996 yang disahkan  tanggal 30 Agustus 1996 sebagai perubahan atas Surat Keputusan Menteri  Kesehatan No. 82/MENKES/SK/I/1996. SK Menkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 inilah yang mengatur label halal untuk produk yang akan dijual di toko-toko, serta secara lengkap  disebutkan bahwa persetujuan pencantuman tulisan "halal" diberikan oleh  Dirjen POM atas dasar keputusan dan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

logo-halal-4-59fabab0f33a2d3ccb386692.png
logo-halal-4-59fabab0f33a2d3ccb386692.png
Pemerintah secara serius melakukan pertemuan untuk membahas tentang jaminan produk halal. Hingga akhirnya pada Rapat  Paripurna DPR-RI tanggal 25 September 2014 lalu, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) disetujui. Kemudian telah disahkan oleh  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 17 Oktober 2014.  Pada hari yang sama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia  (HAM) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Amir Syamsudin mencantumkan UU tersebut sebagai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.

UU No. 33 Tahun 2014 terdiri dari 68 pasal. Isinya menegaskan bahwa produk yang  masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib  bersertifikat halal. Dalam hal ini, Pemerintah bertanggung jawab dalam  menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun