Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deparpolisasi atau Eliminasi Calon Independen

31 Maret 2016   06:11 Diperbarui: 31 Maret 2016   06:40 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan, istilah ‘koalisi tanpa syarat’ yang diperkenalkan Jokowi di Pilpres 2014 lalu, tidaklah terbukti. Toh, pemerintahan Jokowi tidak bisa keluar dari cengkraman dominasi partai pendukungnya. Kecurigaan Ketua Umum PDIP Megawati, bahwa rezim Jokowi-JK melakukan deparpolisasi pemerintahan dengan mencoba menjauhkan peran partai di pemerintahan juga tidaklah terbukti.

Kuncinya, partai politik memiliki peran besar tidak saja pada proses kontestasi. Pada saat kekuasaan berlangsung, partai politik punya kendali di sana dalam bentuk kekuasaan bayangan (shadow power).

Maka, perdebatan apakah Ahok melakukan deparpolisasi atau tidak, kini tidak lagi relevan bila sekedar mempersoalkan tafsir dan terminologi ‘deparpolisasi’ itu sendiri. Apalagi, Ahok dengan keras sudah membantah tudingan bahwa dirinya sedang melakukan deparpolisasi.

Apa pun itu, Ahok telah memberi tamparan keras bagi partai politik, khususnya kepada PDIP. Bila, fungsi-fungsi kepartaian tidak dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin, masyarakat akan memblokade eksistensi partai politik.

Merawat Calon Independen

Partai politik harus kembali ke fitrahnya sebagai sarana dalam mengartikulasi kepentingan rakyat. Caranya? Memperbaiki iklim kepengurusan dan menjaga kaderisasi yang berkualitas dan makin demokratis. Partai harus mengembalikan citra ‘politisi’ tidak sebagai manusia-manusia yang berjarak dengan rakyat—tetapi, melahirkan politisi yang “menyatu” dengan bahasa rakyat.

Maka, saluran alternatif melalui jalur independen haruslah dipandang sebagai sarana pembelajaran bagi partai politik. Keinginan Ahok untuk lebih memilih jalur independen mestilah diapresiasi dari dua sisi. Pertama, sebagai sarana koreksi terhadap partai politik. Kedua, sebagai bentuk pemenuhan hak politik bahwa siapa pun dapat ikut pada kontestasi demokrasi.

Dengan demikian, respon parlemen yang akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang sistem pemilihan, adalah suatu sikap arogansi dan sekaligus ketakutan berlebihan partai politik. Usulan menaikkan prasyarat dukungan calon independen dengan dua pilihan; yaitu dukungan 10-15 persen atau 15-20 persen, tentulah sangat menyulitkan bagi kemunculan Calon independen di Pilkada yang akan datang.

Atas alasan keadilan dan keseimbangan besaran dukungan antara calon independen dan partai politik, tentu tidaklah bisa diterima secara akal sehat. Apa pun argumennya, partai politik dan perseorangan adalah dua kutub yang berbeda. Partai disokong oleh struktur yang kuat dan berlapis-lapis, sementara perseorangan tidak punya struktur dukungan permanen.

Jangan-jangan, isu deparpolisasi hanya akan digiring pada peng-eliminasian calon perseorangan. Apalagi, dari waktu ke waktu, Calon independen semakin mendapat angin segar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun