Bahkan, istilah ‘koalisi tanpa syarat’ yang diperkenalkan Jokowi di Pilpres 2014 lalu, tidaklah terbukti. Toh, pemerintahan Jokowi tidak bisa keluar dari cengkraman dominasi partai pendukungnya. Kecurigaan Ketua Umum PDIP Megawati, bahwa rezim Jokowi-JK melakukan deparpolisasi pemerintahan dengan mencoba menjauhkan peran partai di pemerintahan juga tidaklah terbukti.
Kuncinya, partai politik memiliki peran besar tidak saja pada proses kontestasi. Pada saat kekuasaan berlangsung, partai politik punya kendali di sana dalam bentuk kekuasaan bayangan (shadow power).
Maka, perdebatan apakah Ahok melakukan deparpolisasi atau tidak, kini tidak lagi relevan bila sekedar mempersoalkan tafsir dan terminologi ‘deparpolisasi’ itu sendiri. Apalagi, Ahok dengan keras sudah membantah tudingan bahwa dirinya sedang melakukan deparpolisasi.
Apa pun itu, Ahok telah memberi tamparan keras bagi partai politik, khususnya kepada PDIP. Bila, fungsi-fungsi kepartaian tidak dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin, masyarakat akan memblokade eksistensi partai politik.
Merawat Calon Independen
Partai politik harus kembali ke fitrahnya sebagai sarana dalam mengartikulasi kepentingan rakyat. Caranya? Memperbaiki iklim kepengurusan dan menjaga kaderisasi yang berkualitas dan makin demokratis. Partai harus mengembalikan citra ‘politisi’ tidak sebagai manusia-manusia yang berjarak dengan rakyat—tetapi, melahirkan politisi yang “menyatu” dengan bahasa rakyat.
Maka, saluran alternatif melalui jalur independen haruslah dipandang sebagai sarana pembelajaran bagi partai politik. Keinginan Ahok untuk lebih memilih jalur independen mestilah diapresiasi dari dua sisi. Pertama, sebagai sarana koreksi terhadap partai politik. Kedua, sebagai bentuk pemenuhan hak politik bahwa siapa pun dapat ikut pada kontestasi demokrasi.
Dengan demikian, respon parlemen yang akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang sistem pemilihan, adalah suatu sikap arogansi dan sekaligus ketakutan berlebihan partai politik. Usulan menaikkan prasyarat dukungan calon independen dengan dua pilihan; yaitu dukungan 10-15 persen atau 15-20 persen, tentulah sangat menyulitkan bagi kemunculan Calon independen di Pilkada yang akan datang.
Atas alasan keadilan dan keseimbangan besaran dukungan antara calon independen dan partai politik, tentu tidaklah bisa diterima secara akal sehat. Apa pun argumennya, partai politik dan perseorangan adalah dua kutub yang berbeda. Partai disokong oleh struktur yang kuat dan berlapis-lapis, sementara perseorangan tidak punya struktur dukungan permanen.
Jangan-jangan, isu deparpolisasi hanya akan digiring pada peng-eliminasian calon perseorangan. Apalagi, dari waktu ke waktu, Calon independen semakin mendapat angin segar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H