Hujan turun. Persis di saat  bulir bening menetes di pipiku. Sebuah novel tergenggam erat di tangan. _Hujan, Tere Liye_. Semua terasa serba kebetulan.
Hati batuku runtuh. Berbagai pilihan berkelebat di kepalaku. Pilihan yang begitu membingungkan.
Kupandangi deras hujan dari balik jendela. Berharap mampu memberikan ketenangan. Namun sedikit pun tak berpengaruh. Pikiranku tetap kalut. Aku terdiam menatapi hujan dalam senja.
"Ini foto abangku, Nad."
Dengan saksama kupandangi sebuah wajah dalam potret yang kini kupegang. Lelaki bertubuh tegap, tinggi, dengan dagu terbelah. Gagah. Dia bilang lelaki dalam potret itu menyukaiku.
"Masih ingat?"
Aku diam. Tak segera membalas pertanyaan laki-laki di hadapanku. Aku masih saja memperhatikan potret itu. Aku mengenal sosok dalam foto itu. Tapi sudah lama aku tak melihatnya lagi.
"Kamu pasti sudah lupa bagaimana wajahnya dulu."
Aku menatap wajah senduku. Berusaha mencari bagian mana yang menarik yang ada padaku. Aku tak pandai, sama sekali tidak. Bahkan membaca Basmallah pun masih salah-salah.
'Kalau aku suka dia dari dulu, mungkin aku sembunyikan jauh-jauh dia dari abangku.'
"Hilmi bilang begitu padaku, Nad?" ucap Ulfi. Dia temanku yang juga sepertinya teman curhat Hilmi.