Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nana

1 Mei 2019   04:57 Diperbarui: 1 Mei 2019   05:14 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sinar itu pudar. Tak menyisakan sedikit pun terang. Gagah mentari tak mampu mengganti. Dunia terasa kelam. Segala bentuk keindahan berubah menjadi bayangan. Bayangan yang semakin lama semakin hilang. Memudar.
 
Nana berlari kecil menaiki tangga menuju ke kamarnya. Dia tak suka, tak kan pernah suka dengan kehadiran ayahnya di rumah. Pilihan terbaik untuk tak bertemu dengan beliau adalah dengan dia pergi mencari tempat penginapan lain.

Setelah selesai mengemasi barang yang sekiranya diperlukan, Nana bergegas turun untuk berpamitan dengan ibunya. Mudah saja, dia biasa menggunakan alasan-alasan tugas kuliah atau ada acara dengan teman kampusnya agar diizinkan pergi.

"Nana ada acara sama teman kampus, Bu. Mungkin seminggu Nana enggak pulang."

"Besok ayah pulang, kamu enggak kangen?"
 
"Ah, percuma juga. Lebih baik memang Nana enggak perlu ketemu sama ayah."

"Na...." Kata-katanya terhenti. Anak gadis semata wayangnya sudah berlari keluar.

Sejak sekitar 5 tahun yang lalu Nana berubah. Wajah cerianya berubah masam. Selama itu pula Nana jarang terlihat ceria di hadapan ibunya. Terlebih ayahnya. Nana mencintai ibunya, tentu saja. Itu pula yang menyebabkannya menjadi seperti sekarang ini. Karena ia terlalu mencintai ibunya.

                                               ***

"Nana di mana, Bu?" tanya seorang lelaki bertubuh tinggi tegap yang baru saja sampai di rumah Bu Erna. Lelaki itu suaminya. Ia baru datang untuk berlibur dan menjenguk keluarganya. Pekerjaannya sebagai pengawas proyek konstruksi jalan membuatnya harus sering-sering keluar kota dan jarang berkumpul dengan keluarganya di Tangerang.

"Nana ada acara dengan teman kampusnya. Seminggu lagi sepertinya baru akan pulang," jawab Bu Erna dengan suara lembut. Tangannya segera meraih tangan suaminya dan menciumnya. Sebagai bukti cintanya kepada suami setelah cukup lama tidak bertemu. Kemudian ia meraih tas suaminya dan menyimpannya di atas lemari kecil yang ada di belakang tempat ia berdiri sekarang. Ia juga segera mengambil dan menuangkan air untuk suaminya. Pasti lelah setelah berjam-jam menyetir mobil sendiri. Beliau memang lebih suka menyetir sendiri daripada harus mengambil sopir pribadi.

"Nana itu bukannya ada acara sama teman-temannya tapi memang sengaja enggak pengen ketemu sama saya," ucap Pak Nasir yang kini tengah duduk di sofa, merebahkan dan mengistirahatkan badannya dari rasa lelah.

"Ayah kenapa ngomongnya begitu?" tanya Bu Erna.

"Kamu kan tahu Nana itu enggak suka kalau ketemu sama saya," jawab Pak Nasir. Tangannya sibuk memainkan handphone-nya. Ia mencari kontak nomor handphone anaknya. Kemudian meneleponnya.

"Cepat pulang sekarang! Ayah enggak mau tahu alasan apa pun. Pokoknya kamu pulang sekarang," ucap Pak Nasir mengakhiri pembicaraannya di telepon dengan Nana setelah berdebat cukup lama. Ibu Erna hanya diam tak memberi komentar apa pun mendengar suaminya yang terlihat kesal. Ia tak ingin membuat suaminya bertambah kesal jika ia ikut campur.

Sunyi. Di rumah itu dulu ada kebahagiaan. Suara Nana yang berteriak bahagia ketika menyambut ayahnya datang. Senyum Bu Erna saat melihat suaminya pulang dengan membawa beberapa oleh-oleh untuknya. Tapi kini, kebahagiaan itu seolah pergi. Keceriaan itu telah berubah menjadi kesunyian yang menyakitkan setiap hati para penghuni rumah. Nana yang dulu selalu membatalkan semua acara demi menyambut kepulangan ayahnya justru terbalik menjadi selalu ingin pergi setiap kali ayahnya pulang. Bu Erna yang dulu selalu menghujani banyak pertanyaan setiap kali suaminya pulang, kini bahkan seperti enggan melontarkan satu pertanyaan pun padanya.

                                              ***

Suara mobil datang membangunkan Pak Nasir yang beberapa menit yang lalu tertidur di sofa. Nana pulang. Rupanya dia tak pergi terlalu jauh dari sekitar rumah sehingga hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk sampai di rumah setelah sebelumnya Pak Nasir meneleponnya.

"Assalamu'alaikum," ucap Nana dengan suara ketus. Raut wajah tak sukanya tampak begitu jelas.

"Wa'alaikumsalam," balas Pak Nasir sambil menerima uluran tangan anak gadisnya.

Suasana tampak kaku. Yang datang hanya diam. Pun tak mau sedikit saja menatap wajah ayahnya. Ada dendam dalam hatinya. Dendam yang membuat keceriaannya hilang sekian tahun ini.

"Nana, kamu sudah pulang?" suara lembut Bu Erna sedikit mencairkan suasana. Nana mencium tangan ibunya yang baru saja keluar dari aktivitasnya. Mereka kemudian duduk di sofa. Seperti biasa, Nana selalu lebih suka di samping ibunya ketika ayahnya datang.

"Kamu kenapa setiap kali ayah pulang selalu saja menghindar? Mau sampai kapan terus seperti itu?" tanya Pak Nasir kemudian.

"Tanya saja sama diri ayah sendiri," jawab Nana memeluk lengan ibunya. Khawatir ayahnya akan marah besar.

"Kamu selalu saja menyalahkan ayah. Hanya karena sedikit keburukan ayah lantas kamu tak mau mengakui ayah sebagai ayahmu, heh?" balas Pak Nasir mulai naik darah.

"Sedikit? Ayah bilang sedikit? Ayah pikir hati kami terbuat dari batu?" Kali ini Nana pun mulai emosi. Dia berdiri kemudian berlari pergi masuk ke kamarnya. Nana selalu tak ingin pertengkaran menjadi besar. Itu lah sebabnya dia selalu pergi setiap kali ayahnya pulang. Dia tak setegar ibunya, dia tak sesabar ibunya yang bisa dengan mudah menerima perilaku buruk ayahnya. Dia tidak sama. Dia keras. Mungkin sekeras watak ayahnya. Andai tak ada ibu di hadapannya. Mungkin dia rela berlama-lama berdebat dengan ayahnya. Tapi dia selalu mengkhawatirkan kesehatan ibunya. Selalu.

                                                 ***

Nana menatap beberapa pengamen yang sedang berbincang di sudut jalan dari balik kaca jendela mobilnya. Atau mungkin mereka sedang bercanda dan melepas lelah, entah lah. Ada rasa iri menggerogoti hatinya. Mereka tampak terlihat bahagia. Senyum mereka merekah dengan indah.
Keadaan tak membuat mereka merasa lelah. Kebersamaan, ya, kebersamaan adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan harta. Nana tak lagi mendapatkan itu semua. Sejak saat kejadian menyakitkan itu, Nana kehilangan semuanya. Keceriaannya, senyumnya, kawan-kawannya, semuanya. Semua seolah pergi. Bukan mereka yang pergi tapi Nana sendiri yang menghindar. Dia malu.

Sesampainya di depan rumah, Nana tak bergegas turun dari mobilnya. Ia membayangkan kehangatan masa lalu di dalam rumah itu. Dia merindukannya. Tapi mustahil semua seperti sedia kala. Semua sudah penuh dengan luka. Luka yang masih tetap menganga hingga saat ini.

"Kamu enggak turun?" suara seseorang membuyarkan lamunannya. Dilihatnya ayahnya yang kini sudah berdiri di balik kaca jendela mobilnya yang sejak tadi memang sudah terbuka.

Nana keluar kemudian berlari kecil hendak memasuki rumah tapi suara ayahnya dengan cepat mencegat langkahnya.

"Melihat ayah sendiri seperti melihat hantu kamu ya," ucap Pak Nasir.

"Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan ayah seperti ini, Nana?" lanjut Pak Nasir saat melihat Nana sudah memandang ke arahnya.

"Sampai ayah mau meninggalkan istri-istri simpanan ayah dan enggak lagi menyakiti perasaan ibu!" balas Nana emosi. Matanya memerah. Perasaan marah, benci dan tangis membaur menjadi satu.

Plak!!!
Nana jatuh terjerembab. Tamparan ayahnya terlalu keras. Bibirnya berdarah. Nana berusaha bangkit sambil menahan perih.

"Ayah macam apa kamu? Sudah tega menyakiti hati ibu berulang kali sekarang tega memukul anak sendiri tanpa hati," ucap Nana sangat lantang disertai tangisan. Bu Erna berhambur keluar saat mendengar suara ribut.

"Ada apa ini?" tanya Bu Erna.
 
"Aku enggak akan pernah menganggapmu ayah lagi. Enggak akan pernah. Jangan harap aku akan memaafkan semua kejadian hari ini," ucap Nana masih emosi. Tak ada yang menghiraukan pertanyaan Bu Erna. Sementara Pak Nasir hanya diam. Dia seolah menyesali perbuatannya.

"Nana, sudah! Kamu enggak boleh bicara seperti itu! Dia itu ayahmu. Dia yang akan menjadi wali saat hari pernikahanmu nanti. Dia ayah kandungmu," ucap Bu Erna mencoba meredamkan amarah anaknya. Dipeluknya Nana dalam-dalam.

"Enggak, Bu. Nana enggak butuh ayah macam dia," balas Nana melepas pelukan ibunya.

"Kamu enggak boleh bicara seperti itu," ucap Bu Erna.

"Enggak, Bu. Aku muak. Aku muak melihatnya," balasnya lagi.

Pak Nasir yang sejak tadi diam kembali emosi. Amarahnya semakin memuncak saat mendengar Nana mengucapkan kata-kata seperti itu pada ibunya.

"Lihat, lihat anak hasil didikanmu! Kurang ajar, enggak tahu aturan," ucap Pak Nasir. Kali ini bukan ditunjukkan pada Nana tapi Bu Erna, istrinya.

"Astaghfirullahal'adzim, Ayah kenapa bicara begitu?" ucap Bu Erna kaget.

"Berani benar Ayah menyalahkan Ibu. Lihat sendiri kelakuan ayah, lihat! Apa pantas ayah menuduh ibu seperti itu? Ibu sudah sangat sabar bahkan terlalu sabar dengan memendam segala amarah atas kelakuan ayah tapi apa balasan ayah, heh?" ucap Nana amarahnya semakin menjadi.

"Kamu benar-benar anak kurang ajar."

Plak!
Tangan Pak Nasir yang hendak memukul Nana justru beralih memukul Bu Erna karena Bu Erna segera menghalanginya. Bu Erna terjatuh. Tubuh ringkihnya terduduk. Nafasnya mendadak terlihat tak beraturan.
 
"Ibuu...." Nana segera memeluk ibunya. Suara tangisnya semakin kencang. Nana terus memanggil-manggil nama ibunya dan mengguncang-guncangkan badannya.

"Sebaiknya segera bawa ke rumah sakit," ucap Pak Nasir yang juga mendadak cemas melihat kondisi istrinya yang kejang dan sesak nafas.

                                             ***

Tidak ada yang akan kembali. Semua yang sudah terjadi sudahlah terjadi. Nana menyalahkan diri atas apa-apa yang sudah terjadi. Selalu saja dalam hatinya berkata, andai saat itu dia bisa menahan amarahnya? Andai saja dia sesabar ibunya? Andai saja waktu itu dia tak menuruti keinginan ayah untuk kembali ke rumah? Hanya sementara. Ayah pergi, aku akan pulang lagi menemani ibu, demikian bisiknya.

Tapi semua sudah terjadi dan tak kan pernah bisa kembali. Pun ibunya yang kini pergi. Pergi menuju ke kehidupan yang abadi.
 
"Hei, kamu. Ya, kamu. Kamu nanti kalau sudah punya istri jangan diselingkuhi. Kalau mau ya nikahi baik-baik jangan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak nanti istrimu bisa mati lho. Hihiiii," wajah Nana tampak ceria. Senyum manisnya terus menghiasi sudut bibir mungilnya. Tak jarang pula ia menasihati setiap lelaki yang ia hampiri. Meskipun demikian tapi tatapannya selalu kosong, sangat kosong. Sesekali tawa renyahnya mendadak berubah menjadi tangisan yang memilukan. Nana berlari menuju tempat ayunan. Ia berayun sambil menyenandungkan nyanyian-nyanyian.
 
"Na...na...na...na...na...."

Rumah Sakit Jiwa itu tampak ramai oleh orang-orang  berlalu lalang, tapi masih saja Nana merasa lengang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun