"Ayah macam apa kamu? Sudah tega menyakiti hati ibu berulang kali sekarang tega memukul anak sendiri tanpa hati," ucap Nana sangat lantang disertai tangisan. Bu Erna berhambur keluar saat mendengar suara ribut.
"Ada apa ini?" tanya Bu Erna.
Â
"Aku enggak akan pernah menganggapmu ayah lagi. Enggak akan pernah. Jangan harap aku akan memaafkan semua kejadian hari ini," ucap Nana masih emosi. Tak ada yang menghiraukan pertanyaan Bu Erna. Sementara Pak Nasir hanya diam. Dia seolah menyesali perbuatannya.
"Nana, sudah! Kamu enggak boleh bicara seperti itu! Dia itu ayahmu. Dia yang akan menjadi wali saat hari pernikahanmu nanti. Dia ayah kandungmu," ucap Bu Erna mencoba meredamkan amarah anaknya. Dipeluknya Nana dalam-dalam.
"Enggak, Bu. Nana enggak butuh ayah macam dia," balas Nana melepas pelukan ibunya.
"Kamu enggak boleh bicara seperti itu," ucap Bu Erna.
"Enggak, Bu. Aku muak. Aku muak melihatnya," balasnya lagi.
Pak Nasir yang sejak tadi diam kembali emosi. Amarahnya semakin memuncak saat mendengar Nana mengucapkan kata-kata seperti itu pada ibunya.
"Lihat, lihat anak hasil didikanmu! Kurang ajar, enggak tahu aturan," ucap Pak Nasir. Kali ini bukan ditunjukkan pada Nana tapi Bu Erna, istrinya.
"Astaghfirullahal'adzim, Ayah kenapa bicara begitu?" ucap Bu Erna kaget.
"Berani benar Ayah menyalahkan Ibu. Lihat sendiri kelakuan ayah, lihat! Apa pantas ayah menuduh ibu seperti itu? Ibu sudah sangat sabar bahkan terlalu sabar dengan memendam segala amarah atas kelakuan ayah tapi apa balasan ayah, heh?" ucap Nana amarahnya semakin menjadi.
"Kamu benar-benar anak kurang ajar."