Dia diam tak segera menjawab. Kudengar ia menghela nafas pelan. Barangkali tengah berpikir akan mengambil keputusan bagaimana.
"Kenapa diam saja? Kau bisa memilih bukan? Tinggalkan dia, Mas. Tinggalkan!" Ucapku.
"Aku tidak mungkin meninggalkan dia. Dia tengah hamil anakku!" Balasnya dengan suara keras.
"Lalu aku?" Tanyaku.
"Kau akan meninggalkanku?" Lanjutku.
"Ya," balasnya.
Duniaku seakan runtuh. Inikah balasan untuk kesetiaanku selama ini? Setega itukah ia padaku? Ia bahkan lebih memilih wanita keparat itu.
"Lalu bagaimana dengan Bilqhis, Mas? Bagaimana dengan anak kita?" Tanyaku masih dengan emosi.
"Aku mengikhlaskan dia padamu," balasnya.
"Maksudmu?" Tanyaku tak percaya dengan ucapannya.
"Tolong jaga dan didik dia," balasnya.
"Aku akan segera mengurus perceraian kita," lanjutnya kemudian.