Bulan ini, kandunganku menginjak usia 9 bulan. Aku malu. Dan lebih malu lagi karena Rudi, ayah dari bayi yang ada di kandunganku tak berada di sini. Ia tengah berada di luar pulau. Aibku semakin tampak tanpa keberadaannya. Barangkali ini yang membuatku mudah marah.
Seharusnya aku tak mengizinkannya pergi jauh. Sekali pun dengan alasan ingin mencari biaya buat persalinan nanti. Sebab nyatanya apa? Selama 6 bulan kepergiannya, tidak pernah sekalipun ia mengirim uang untuk kebutuhanku. Siapa dia? Suamikukah? Sedangkan pernikahan kami saja tidak pernah sah di mata Allah.
"Ibu, aku harus bagaimana?" keluhku pada ibu.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tak berani keluar rumah. Orang-orang di luar sana sudah pasti tengah asyik menggunjingkanku. Aku wanita jalang. Aku seorang janda yang kegatalan. Dan entah apa lagi.
"Sabar, Nak. Semua sudah terjadi. Jadi ikhlas saja untuk menjalaninya," balas ibu merangkulku.
"Maafkan Ratih, Bu," ucapku dalam isak.
"Terus Rudi bagaimana? Dia ada kasih kabar ke kamu?" tanya ibu.
"Aku tidak tahu, Bu. Aku tidak tahu apa maunya. Dia seperti enggan sama Ratih, Bu," balasku semakin terisak.
"Nanti biar ibu yang bicara, Ratih," balas ibu mencoba menenangkan.
Duniaku gelap. Rasanya gelap sekali. Ini memang kesalahanku. Seharusnya aku bisa menjaga diri. Seharusnya aku tak mudah tergoda lelaki. Jika waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya aku kembali ke masa lalu.
"Ibu, kapan dedek bayi lahir?" tanya Aira anakku, saat aku tengah akan menidurkannya.