Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Bingkai Formosa

31 Maret 2019   11:58 Diperbarui: 31 Maret 2019   12:32 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay


"Kau mau beli apa? Katakan padaku ...,"


Aku tak menghiraukannya. Aku terus berjalan meninggalkan kedua laki-laki itu. Beginikah pergaulan mereka di negara orang? Tidak lagi! Lebih baik tak banyak teman daripada harus terjerumus dalam pergaulan menyesatkan seperti itu. Apakah mereka tak melihat pakaian dan jilbabku?


Teman-teman wanita yang kadang mengajakku merokok atau minum masih bisa kumaafkan. Yang penting aku tak mengikuti pergaulan mereka itu sudah cukup. Tapi ajakan untuk pergi ke hotel, dibayar tentu sebuah kesalahan besar yang tidak bisa kumaafkan. 

Sejak saat itu, aku tak pernah sedikit pun memiliki keinginan untuk berteman dengan laki-laki yang tinggal di Taiwan. Setitik nila rusak susu sebelangga. Meski tak semua laki-laki Indonesia yang tinggal di Taiwan berkelakuan seperti itu, tapi aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak sama sekali menghiraukan setiap mereka yang meminta kenalan atau pun sekedar menyapa. Cukup jawab seperlunya. Sudah.

Empat bulan setelah kedatanganku di Taiwan, aku memang meminta untuk memakai jilbab. Entah kekuatan dari mana hingga aku mampu mengungkapkan keinginan itu. Padahal sebelumnya aku pun harus dengan penuh perjuangan saat meminta menjalankan ibadah puasa selama sebulan di bulan Ramadhan.


"Tidak perlu. Nanti saja kalau kau pulang di Indonesia baru memakainya lagi," suara lantang majikan membuatku tertunduk takut. Kusembunyikan air mata yang perlahan mulai menetes.


"Orang Islam itu aneh. Mau-maunya menyiksa diri dengan tidak makan. Mau-maunya tidak makan babi. Mau-maunya memakai pakaian aneh yang membuatnya terlihat jelek." 

Hinaan demi hinaan terlontarkan. Aku hanya mendengarkan tak membalas sepatah kata pun.

Di kamar aku menangis sejadi-jadinya. Aku mencurahkan isi hati kepada sang Kholik. Berdoa memohon agar dimudahkan segala urusan. Aku menyesali diri. Menyesali keadaanku dulu yang sering lalai mengingat Allah. 

Bayangan aku tengah malas-malasan saat terdengar lantunan suara adzan. Bayangan aku meninggalkan Shalat tanpa berat. Bayangan aku melepas jilbab seenak jidat. Semuanya berkelebat begitu saja di memoriku. 

Sementara di sini, di negara dengan penduduk mayoritas penganut Buddha ini, aku harus berjuang mati-matian untuk menjalankan semua itu. Harus rela mendengar cacian yang bertubi-tubi. Bukan hanya sekali dua kali tapi berkali-kali dari orang yang berbeda. Hingga saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun