"Yang sabar, Nak," lanjutnya.
Sementara aku, dadaku seketika berguncang hebat. Tangisku runtuh.
"Ibu ...!" teriakku.
Aku berlari memasuki ruangan ibu. Langkahku terhenti, ketika mendapati tubuh ibu tertutup rapat. Pandanganku kabur. Semua berubah menjadi gelap.
_Nak, maafkan ibu. Ibu seharusnya menceritakan ini dari awal. Tapi ibu tidak sanggup. Kau bilang kau ingin mendengar kenyataan. Baik, ibu akan menjelaskan kebenaran.
Ratih, yang tak lain ibu dari Alisa sahabatmu, ia dulu sahabat ibu. Ia membenci ibu sebab sesuatu. Beberapa hari setelah suami ibu meninggal, suami Ratih terus mendekati ibu. Tapi ibu tak pernah membalas. Hingga suatu hari, suaminya memaksa ibu untuk melayani nafsu birahinya. Ibu hanya seorang wanita lemah, Nak. Ibu tak sanggup melawan. Dia memperkosa ibu. Seusai itu, masih dengan kondisi kacau, Ratih memergoki apa yang terjadi. Ibu difitnah oleh suaminya. Ia bilang ibu yang menggodanya. Beberapa minggu setelah kejadian itu, ibu mengetahui kalau ibu hamil, Nak. Sejak itu, ibu memutuskan untuk pindah rumah. Ibu tak ingin merusak rumah tangga mereka dengan kehamilan ibu.
Sekali lagi maafkan ibu, Nak. Percayalah, yang ibu lakukan adalah sebab ibu menyayangimu._
Aku meremas surat dari ibu. Tidak sepatutnya aku menyakiti hatinya. Ibu sudah terlalu sakit menyembunyikan kenyataan yang telah menimpa kehidupannya. Seharusnya aku tidak menambahkan dengan kesakitan yang lain. Seharusnya tidak!
"Maafkan aku, ibu ...,"lirihku.
Aku bangkit dari ranjang. Melepas infus yang menyangkut di tangan. Aku berlari mencari ibu. Berlari menghampiri jenazah ibu. Dan aku, aku sudah terlambat. Aku benar-benar sudah terlambat.
Kaohsiung, 18 Maret 2019