Rasanya seperti diamuk ribuan masa. Aku terimpit, sakit. Amarah membludak. Mencipta suara gemuruh. Suaraku tak henti berujar, memaki. Aku tetap pada pendirian bahwa aku benar.
"Kamu kalau ngomong selalu enggak pakai otak!"
"Fitnah melulu ucapan kamu mah."
Seruan-seruan yang entah dari mana asalnya itu menyerang di telingaku. Membuat kepala berdenyut hebat. Dan yang tak kalah sekarat adalah degup dada yang berguncang semakin hebat.
Keringat bercucuran membasahi seluruh tubuhku. Ada aroma busuk yang tiba-tiba muncul. Entah berasal dari mana. Semakin lama semakin pekat baunya. Terlebih ketika aku mendengus, membuka mulut. Baru kusadari bahwa aroma itu berasal dari mulutku sendiri.
"Bau apa ini?" Aku gusar. Tak percaya dengan yang terjadi.
Nyeri. Jemariku seperti tersayat. Aku semakin mengaduh ketika kudapati kuku-kuku  di jemariku memanjang, meruncing. Di setiap celahnya mengeluarkan merah darah.
Aku bangun dari pembaringan. Berlari menuju cermin. Berharap yang terjadi hanya sebuah ilusi. Namun, aku justru mendapatkan bayangan tubuhku yang berubah mengerikan. Aku seperti monster. Rambutku berantakan, mataku membesar, hidungku memancung tak wajar, gigiku bertaring, tangan dan kakiku dipenuhi kuku-kuku tajam. Dan lihat sekarang, perlahan bulu-bulu tumbuh di seluruh tubuh.
"Tidaaaaaaaak!!!" Aku berteriak, meraung.
"Hahaha ... "
Aku menghentikan teriakan saat kudengar suara tawa. Dan anehnya suara itu berasal dari bayangan diriku di cermin. Kami seolah dua orang berbeda yang tengah berhadapan.
"Siapa kamu?"
"Aku adalah sebagian dari hatimu."
"Apa maksudmu?"
"Hahaha ... Wahai, aku adalah wujud kebencian yang selama ini kamu tanam di hatimu." Aku tersentak mendengar jawaban itu. Apa maksud dari kata-katanya?
Aku mendadak pusing. Aku menemukan bayangan berkelebat di seputar kepala. Bayangan tentang kejadian-kejadian yang pernah kulalu. Tentang ujaran-ujaran tak beradab yang kerap kulontar pada beberapa kerabat.
"Aku melakukan ini karena aku benar!" Selaku setiap kali membela diri.
Mereka saja yang bodoh. Mereka tidak pernah mau membuka pikiran agar bisa melihat kebenaran.
"Kamu tidak perlu memaksakan kehendak, Alena," ujar seseorang ketika aku tengah berdebat dengan seorang teman.
"Apa? Kamu sama saja seperti mereka. Bodoh!" Makiku.
"Astaghfirullah, Alena!" Serunya.
"Tidak usah munafik dengan bawa-bawa nama Allah." Aku semakin menjadi.
"Kamu yang seharusnya berkaca, bukan mereka!" Balasnya kemudian meninggalkanku.
Aku muak dengan mereka yang selalu merasa benar. Selalu berujar bahwa pendapat boleh berbeda. Bahwa pilihan boleh masing-masing. Aku peduli makanya berusaha menuntun mereka pada kebenaran. Menuntun mereka agar tak salah dalam memilih. Tapi apa balasannya, mereka justru menghujatku. Menganggap aku biadab. Dengan kata-kata sok bijak memberi nasehat.
"Caramu itu yang salah, Alena. Kamu terlalu sering berujar kebencian."
Kepalaku berdenyut semakin hebat. Aku meraung, memegangi sisi kepala dengan kedua tangan. Menjambak rambut sendiri yang super berantakan.
Bayangan di cermin itu tiba-tiba keluar dan mendekatiku. Aroma busuk memenuhi kamar. Dia menyerang, mencabik-cabik tubuhku dengan kuku-kuku tajamnya. Aku berontak dan berteriak.
"Toloooong!!!"
Tapi tak ada seorang pun mendekat. Aku semakin sekarat. Rasa sakit menyergap. Darah bercucuran di lantai. Bayangan itu tak berhenti menyerang. Aku benar-benar tak bisa melawan. Tubuhku terjatuh, sementara dia terus menyerangku dengan membabi buta. Hingga pada akhirnya, aku terbunuh kebencian yang kutanam sendiri di hati.
Kubuka mata perlahan. Terang mentari yang menyusup jendela membuatku sedikit sadar, bahwa tadi aku mimpi buruk!
Taiwan, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H