"Kamu yang seharusnya berkaca, bukan mereka!" Balasnya kemudian meninggalkanku.
Aku muak dengan mereka yang selalu merasa benar. Selalu berujar bahwa pendapat boleh berbeda. Bahwa pilihan boleh masing-masing. Aku peduli makanya berusaha menuntun mereka pada kebenaran. Menuntun mereka agar tak salah dalam memilih. Tapi apa balasannya, mereka justru menghujatku. Menganggap aku biadab. Dengan kata-kata sok bijak memberi nasehat.
"Caramu itu yang salah, Alena. Kamu terlalu sering berujar kebencian."
Kepalaku berdenyut semakin hebat. Aku meraung, memegangi sisi kepala dengan kedua tangan. Menjambak rambut sendiri yang super berantakan.
Bayangan di cermin itu tiba-tiba keluar dan mendekatiku. Aroma busuk memenuhi kamar. Dia menyerang, mencabik-cabik tubuhku dengan kuku-kuku tajamnya. Aku berontak dan berteriak.
"Toloooong!!!"
Tapi tak ada seorang pun mendekat. Aku semakin sekarat. Rasa sakit menyergap. Darah bercucuran di lantai. Bayangan itu tak berhenti menyerang. Aku benar-benar tak bisa melawan. Tubuhku terjatuh, sementara dia terus menyerangku dengan membabi buta. Hingga pada akhirnya, aku terbunuh kebencian yang kutanam sendiri di hati.
Kubuka mata perlahan. Terang mentari yang menyusup jendela membuatku sedikit sadar, bahwa tadi aku mimpi buruk!
Taiwan, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H