Natuna Utara, bagian dari bentangan Laut China Selatan sebagai maritime superhighway yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Jalur "emas" pelayaran ini tidak henti-hentinya diperebutkan status kepemilikannya, bukan hanya sekadar perebutan sumber daya alamnya akan tetapi juga perebutan hegemoni di wilayah Asia Pasifik. Kebangkitan China dan Hegemoni Amerika nampaknya telah memberikan pola baru pada keamanan regional di wilayah Indo Pasifik termasuk penguasaan atas Laut China Selatan.
Pertengahan tahun 2017 dengan berani pemerintah RI mengganti nama ZEE di wilayah Natuna Utara ini menjadi Laut Natuna Utara, langkah ini jelas mendatangkan kritik dari pemerintah China yang menganggap bahwa nama Laut China Selatan sudah diakui secara internasional.Â
Perubahan nama ini tentu berpengaruh secara politis bagi kemanan regional, keberanian Indonesia inilah yang menjadi penanda bahwa Indonesia memiliki legitimasi atas pengelolaan maritim di Laut Natuna Utara. Overlapping atas sebagian Laut Natuna Utara adalah alasan historis nine dash line, seluas 2 juta km persegi atau sebesar 90 persen Laut China Selatan darinya diklaim China sebagai wilayah maritimnya sementara Indonesia mengacu pada UNCLOS yang menyatakan bahwa ujung selatan dari Laut China Selatan adalah Zona Ekonomi Eksklusif yang berhak dikelola oleh Indonesia.
Walaupun Indonesia telah secara tegas memperingatkan pemerintah China akan status Laut Natuna Utara akan tetapi langkah ini tidak begitu signifikan untuk mengatasi overlapping di wilayah tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Ocean Initiative Justice, IOJI, Â (2023) menjelaskan bahwa walaupun kapal-kapal ikan berbendara Tiongkok yang kerap dikawal oleh China Coast Guard terakhir kali terlihat pada tahun 2019 namun justru di tahun-tahun ini China lebih sering menempatkan kapal-kapal penelitian ilmiah kelautan dan China Coast Guard di Laut Natuna Utara.Â
Misalnya pada bulan Mei 2023 kapal riset perikanan China yang bernama Nan Feng terdeteksi dan diduga sedang melakukan penelitian ilmiah kelautan di ZEE Indonesia tanpa mendapatkan izin dari Indonesia. Aktivitas kapal riset ini secara hukum sebenarnya telah melanggar UNCLOS karena aktivitas yang mereka lakukan tanpa seizin dari pemerintah Indonesia, secara politis aktivitas ini merupakan bagian dari penegasan China atas klaim Nine Das Line. Artinya, pemerintah China telah melanggar hak berdaulat Republik Indonesia atas Laut Natuna Utara.
Tidak hanya kapal China yang berlalu lalang di Laut Natuna Utara, bahkan 155 Kapal Ikan Vietnam juga beroperasi pada wilayah overlapping ini pada Feburari 2023 (IOJI, 2023). Kapal-kapal tersebut beroperasi pada wilayah overlapping ZEE Indonesia-Vietnam, lebih tepatnya pada utara garis landas kontinen Indonesia-Vietnam yang sebagian diantaranya adalah ZEE Indonesia yang telah menjadi kesepakatan Indonesia-Vietnam di bulan Desember 2022.Â
Laut Natuna Utara telah menjadi sengketa regional yang pada akhirnya Amerika Serikat turut campur tangan atas konflik regional ini. Campur tangan Amerika Serikat disini tentu tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan freedom of navigation mereka, oleh sebabnya sebisa mungkin negara adidaya ini mempengaruhi keputusan dalam konflik Laut China Selatan karena jalur ini merupakan jalur yang strategis bagi Amerika Serikat.
China dan Amerika Serikat merupakan negara yang saling bertentangan dan tengah memperebutkan hegemoni dunia. Apabila Laut China Selatan sepenuhnya dikuasai oleh China, maka bukan tidak mungkin kebijakan freedom of navigation Amerika tidak akan berjalan mulus di Laut China Selatan, jalur ini berpengaruh besar bagi Amerika Serikat untuk menghubungkannya dengan negara-negara sekutu Amerika.Â
Laut China Selatan bukan hanya sekadar diperebutkan sumber dayanya namun lebih daripada itu, perebutan hegemoni antara kebangkitan China dengan negara super power Amerika. Oleh sebab itulah dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, seharusnya Indonesia mampu menjadi kekuatan penengah pada konflik ini. Keberanian Indonesia untuk membentuk forum-forum regional seperti AOIP di Indo Pasifik merupakan bukti bahwa Indonesia serius untuk menjaga keamanan regional.
Keberanian Indonesia dalam mengubah nama wilayah ZEE Indonesia dari Laut China Selatan memang menjadi bukti pemerintah RI dalam pengelolaan perbatasan wilayah, namun sayangnya pembangunan daerah di Kabupaten Natuna justru tidak begitu diperhatikan. Sejak tahun 2001 Pemrintah RI telah menganut sistem otonomi daerah dengan harapan agar daerah bisa mengelola daerahnya secara mandiri dan sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.Â
Nampaknya hingga saat ini di wilayah-wilayah perbatasan RI justru tertinggal dari daerah-daerah lain yang dekat dengan pusat pemerintahan.Â
Berdasar pada UU No. 23 Tahun 2014 mengatur tentang urusan yang terkait dengan pengelolaan kehutanan, kelautan, energi dan sumber daya mineral diagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diantaranya pengelolaan minyak dan gas bumi sejauh 0-12 mil daeri garis pantai merupakan hak untuk pemerintah daerah selebihnya dari 12 mil adalah hak pengelolaan oleh pemerintah pusat.Â
Dengan demikian Kabupaten Natuna hanya memperoleh sebagian kecil dari pendapatan yang dihasilkan oleh produksi minyak dan gas bumi. Kontradiksi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam mendorong pembangunan di Kabupaten Natuna terlihat cukup tajam, terutama terkait dengan pasokan listrik, pembangunan infrastruktur, serta pembangunan perekonomian lainnya.Â
Pemerintah pusat masih berfokus pada pembangunan pertahanan-keamanan di sekitar wilayah Natuna namun seakan lupa bahwa daerah perbatasan perlu dibangun sebaik mungkin mengingat daerah di perbatasan merupakan pintu gerbang yang menunjukkan Republik Indonesia yang sesungguhnya.
Ditengah perebutan hegemoni besar di Laut China Selatan eksistensi daerah sudah melebur atas nama negara, namun perlu diingat kembali dimana negara lain memandang Indonesia adalah ketika dia memandang gerbang masuk menuju Indonesia. Dengan sumber daya yang melimpah dan posisinya yang strategis, Kabupaten Natuna memainkan peran penting di wilayah Laut China Selatan, karena sesugguhnya keamanan itu saling terkait mulai dari keamanan daerah, keamanan nasional, keamanan regional, bahkan keamanan internasional.Â
Kedaulatan Indonesia ditingkat regional seharusnya dibarengi dengan wajah daerah yang terbangun baik secara keamanan maupun secara sosial-ekonomi. Biarpun perebutan hegemoni besar dunia di Laut China Selatan tidak hentinya hingga sekarang, Indonesia sebagai middle power memiliki kedaulatan penuh untuk turut aktif menjaga keamanan regional dengan berbagai cara seperti diplomasi, pembentukan forum regional, memperketat penjagaan secara militer, serta tidak lupa meningkatkan kapasitas pembangunan daerah perbatasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI