Sebanyak apapun obsesi terhadap hobi, pekerjaan, maupun kegiatan yang terpaksa Anda lakukan, tidak akan pernah sebanding dengan waktu tidur semasa hidup Anda. Tahukah kamu? Ternyata kebanyakan manusia tertidur selama 175.000 jam selama hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidur sebenarnya memiliki sebuah fungsi biologis yang kritis. Akan tetapi, bagaimana seseorang dapat membagi waktu tidur selama masa hidupnya? Berapa rata-rata waktu tidur yang ia habiskan dalam kurun waktu satu hari? Apakah waktu tidur tersebut bisa digolongkan sebagai waktu tidur yang normal atau tidak?
Tak semua orang dapat merasakan atau menikmati waktu tidur yang normal, yakni sebanyak delapan jam per harinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rasa stres, kesibukan yang berlebihan, kondisi lingkungan, faktor bertambahnya usia, dan masih banyak lagi. Dampak yang ditimbulkan adalah banyak orang yang meluangkan waktu tidurnya lebih sedikit dari biasanya. Tak jarang juga muncul fenomena ketika orang berkemungkinan untuk tertidur dalam jangka panjang karena malas beraktivitas, kelelahan, efek obat tidur yang digunakan, maupun rasa depresi yang timbul akibat tekanan lingkungan sekitar. Lalu, apakah tidur dengan jangka waktu yang lebih pendek memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan tidur jangka panjang? Atau malah sebaliknya? Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai perbedaan long sleepers dan short sleepers.Â
Pengertian Short Sleepers dan Long Sleepers
Short sleepers adalah sebutan bagi orang yang tertidur sebanyak enam jam atau kurang per malamnya. Sedangkan long sleepers adalah sebutan bagi orang yang tertidur sebanyak lebih dari delapan jam per malam. Durasi tidur seseorang dipengaruhi oleh kombinasi faktor berupa ritme sirkadian, homeostatis, dan kemauan diri sendiri untuk tidur lebih larut. Orang-orang yang tergolong dalam short sleepers pada umumnya adalah orang yang lebih energik dan lebih percaya diri. Mereka cenderung lebih menyibukkan diri dalam menangani stres. Short sleepers dapat beraktivitas dengan baik di siang hari bahkan setelah tidur kurang dari enam jam semalam. Sedangkan, orang-orang yang tergolong dalam long sleepers adalah orang yang lebih sering merasa cemas dan lebih mudah mengeluh akibat tekanan lingkungan yang disekitarnya. Long sleepers biasanya perlu tidur lebih sedikit untuk melakukan tugas sehari-hari seperti pergi ke kantor atau sekolah. Jika mereka tidak cukup tidur, mereka akan merasa lelah, yang dapat berdampak negatif pada kinerja mereka.
Kebanyakan mamalia dan bayi manusia memperlihatkan siklus tidur polifasik. Artinya, mereka secara reguler tidur lebih dari satu kali per harinya. Sebaliknya, kebanyakan manusia dewasa memperlihatkan siklus tidur monofasik. Artinya, mereka tidur sekali saja per harinya. Akan tetapi, kebanyakan manusia dewasa memperlihatkan siklus mengantuk polifasik, dengan periode-periode mengantuk yang terjadi di siang menjelang sore dan di pagi menjelang siang (Stampi dalam Pinel, 2018). Pernahkah Anda mengalaminya?
Durasi Tidur Manusia selama Hidup
Durasi tidur dari manusia bervariasi selama hidupnya. Pada anak-anak dan remaja awal, durasi tidurnya relatif normal. Lalu, setelah beranjak dewasa efektivitas tidur mulai menurun. Oleh sebab itu, umur harus dipertimbangkan dalam mendiagnosis gangguan tidur. Ritme sirkadian dari tidur-bangun bisa memengaruhi fungsi neuroendokrin misalnya sekresi kortisol, melatonin, serta hormon pertumbuhan. Pada orang dewasa normal, temperatur badan juga akan mengikuti ritme sirkadian; puncaknya pada sore hari serta sangat rendah pada malam hari. Tahukah kamu? Ada sebuah alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak sepanjang tidur. Alat tersebut dikenal dengan sebutan polisomnografi. Alat tersebut dapat mencatat kegiatan EEG, elektrookulografi, dan elektromiografi. Elektromiografi perifer bermanfaat untuk menilai gerakan abnormal dikala tidur.
Limbic System saat Short Sleep dan Long Sleep
Sistem limbik adalah bagian dari otak yang terdiri dari beberapa komponen seperti hipokampus dan amigdala dan memiliki banyak fungsi di dalam tubuh, termasuk memproses dan mengatur emosi dan memori, menangani rangsangan seksual dan pembelajaran, serta berhubungan dengan perilaku, motivasi, memori jangka panjang, dan indra penciuman. Short sleep dapat berdampak pada sistem limbik, yang terlibat dalam mengatur emosi, memori, dan motivasi. Salah satunya adalah hipokampus, yang berperan dalam memori, dan amigdala, yang terlibat dalam pengaturan emosi. Selain itu, hipotalamus, yang mengatur siklus tidur dan bangun, juga merupakan bagian dari sistem limbik yang dapat terpengaruh saat short sleep. Sebuah studi menemukan bahwa kurang tidur dapat memengaruhi sistem limbik dan lobus frontal pada gangguan afektif.Â
Short sleep telah terbukti meniadakan manfaat olahraga bagi otak. Tidur REM, yang merupakan tahap tidur, secara khusus mengatur konsolidasi jangka panjang dari memori episodik emosional, dan peningkatan aktivitas yang menonjol dalam struktur limbik dan paralimbik selama tidur REM mendukung kemampuan untuk pengaktifan kembali dan kembali memproses ingatan afektif yang diperoleh sebelumnya.
Secara umum, sistem limbik berkontribusi terhadap kualitas tidur dan fungsi kognitif seseorang melalui regulasi hormon melatonin, kontrol saraf otonom, dan penyesuaian ritme sirkadian. Selain itu, sistem limbik juga mempengaruhi keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik, yang dapat mempengaruhi kondisi terbangun seseorang. Saat seseorang melakukan long sleep dan short sleep, sistem limbik tetap berfungsi dalam mengatur emosi dan motivasi. Namun, kualitas tidur yang buruk dapat mempengaruhi keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik sehingga dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik seseorang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidur yang terlalu panjang atau terlalu singkat dapat meningkatkan risiko kematian.Â
Studi Penelitian Mengenai Short Sleepers dan Long Sleepers Â
Menariknya, sebuah studi berskala besar yang dilaksanakan di Amerika Serikat dan Jepang, yaitu salah satunya studi yang dilakukan Tamakoshi dan Ohno di tahun 2004 dengan jumlah 104.110 relawan selama sepuluh tahun, justru ditemukan bahwa kematian paling sedikit dialami oleh mereka yang tertidur antara lima dan tujuh jam per malam dibanding mereka yang tidur delapan jam per malam. Namun, hal itu juga tidak dapat membuktikan bahwa tidur delapan jam atau lebih per malam menyebabkan masalah kesehatan. Sayangnya, studi ini meneliti sampel subjek yang sehat dan tidak memasukkan subjek-subjek dengan sumber bias potensial, yaitu orang-orang yang tertidur sedikit karena sakit, Â depresi, atau mengalami stres.Â
Masih Sering Begadang? Coba Lakukan Short Sleep!Â
Begadang adalah kebiasaan terjaga di malam hari lalu tertidur saat pagi hari datang. Meski banyak dari kita mengetahui dampak negatif yang diakibatkan oleh begadang, namun kita juga menghiraukan hal tersebut baik karena menganggap remeh ataupun memang terpaksa oleh suatu pekerjaan atau aktivitas yang harus segera diselesaikan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh begadang secara fisiologis diantaranya menurunkan  daya  tahan  tubuh akibat sistem imun yang rusak, produktivitas  menurun, kurangnya  konsentrasi,  serta munculnya gejala insomnia (kesulitan tertidur).  Selain itu, begadang juga berdampak secara psikologis, seperti ketidakstabilan emosional, impulsif yang berlebihan, meningkatnya risiko depresi dan cemas, serta menurunkan kinerja kognitif dan daya ingat.
Meskipun begadang dan short sleep terlihat sama karena durasi tidur yang singkat, namun sebenarnya berbeda, lho. Alih-alih begadang hingga larut malam, metode short sleep lebih baik digunakan saat kamu berada dalam aktivitas yang cukup banyak. Kamu bisa tertidur selama 15 menit dalam 2-3 jam sekali dibanding memaksakan diri untuk tetap terjaga hingga pekerjaanmu selesai. Hal ini pun meningkatkan efektivitas pekerjaan yang kamu lakukan.Â
Penting untuk dicatat bahwa kebutuhan tidur bervariasi antar individu, dan beberapa orang mungkin dapat mengatasi short sleep dan long sleep tanpa konsekuensi negatif yang jelas terhadap morfometri otak, sejalan dengan pandangan tentang kebutuhan tidur yang bersifat individual. Oleh karena itu, apakah short sleep dan long sleep dapat memberi dampak negatif disesuaikan kembali dengan bagaimana seseorang mengatur gaya hidupnya.Â
Referensi :
Catherine S. Fichten, Eva Libman, Laura Creti, Sally Bailes & Stephane Sabourin. (2004). Long Sleepers Sleep More and Short Sleepers Sleep Less: A Comparison of Older Adults Who Sleep Well, Behavioral Sleep Medicine, 2:1, 2-23, DOI: 10.1207/s15402010bsm0201_2Â
Fahturosi, D. (2021). Dampak Kebiasaan Begadang Terhadap Pola  Tidur Dan Kesehatan. DOI : 10.31219/osf.io/23hs6
Pantesco, E. J., & Kan, I. P. (2023). Short and Long Sleeper Prototypes: Perceptions of Sleep Duration and Personality Traits. Sleep Epidemiology, 3, 100051. DOI: 10.1016/j.sleepe.2022.100051
Pinel, J. P. J. dan Barnes, S. J. (2018). BIOPSIKOLOGI (BIOPSYCHOLOGY). Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H