Angin berembus ramah di beranda
Menyapu lapisan kulit anakku yang tak tertutup jaket dan helm setengah kepala
Kacamata hitamnya membuat pagi buta semakin gulitaÂ
Aku seorang ibu yang iba
Menatap kantuk menggelayut di kelopak mataÂ
Duuuuh anakku perkasa...
Bukan ibu memaksamu terjaga
Dikala dzikir di mesjid-mesjid masih mengudara
Anakku perlahan membuka jendela
Terkadang menangis, terkadang ceria
Isi mimpinya tak bisa kuterka, tak bisa kuraba
Dari hati ibumu ini, anakku. Ingin rasanya ku tenggelamkan pelukku lebih lama
Menatap aroma senyummu sembari merajut sinar jinggaÂ
Harapan ibu yang utama, kelak kau tumbuh menjadi manusia berguna
Memahami;Â
Sesuap nasi adalah makna
Selangkah kaki serupa harta
Selapis senyum berbalas surga
Tumbuhlah anakku, kita sementara, dan kelak kekal di taman-Nya.
Tangerang, 20 September 2022
(Perjalanan bagi buta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H