Pembelajaran digital di sekolah inklusi merupakan peluang sekaligus harapan. Perlu ada perubahan mindset dari sekolah, guru, dan siswa disabilitas mengenai cara beradaptasi dengan teknologi digital. Sekolah juga perlu menyediakan layanan khusus dengan pendekatan individual yang diimbangi dengan jumlah guru pendamping yang proporsional.
Anna Hatta, Han Wang, Joko Yuwono, dan Shinsaku Nomura dalam buku berjudul Teknologi asistif untuk anak-anak dengan disabilitas di sekolah inklusif dan sekolah luar biasa di Indonesia menyebut bahwa teknologi yang digunakan guru dalam mengajar disabilitas terbagi menjadi dua yaitu teknologi tingkat tinggi dan teknologi sederhana.
Teknologi tingkat tinggi mencakup peralatan elektronik, peralatan pendukung, perangkat lunak, aplikasi digital yang membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan teknologi sederhana. Sedangkan teknologi sederhana berkaitan dengan perangkat non-elektronik yang didesain dengan biaya yang lebih terjangkau.
Teknologi asistif dalam pembelajaran harus sejalan dengan jenis disabilitas dan kebutuhan masing-masing jenis tersebut. Sebagian teknologi juga bisa berlaku untuk semua jenis disabilitas, misalnya komputer dengan alat bantu audio, terjemahan teks ke suara, audio book, papan komunikasi, video cerita bergambar, kartu bergambar, serta berbagai software dan aplikasi digital.
Adapun penerapan teknologi secara khusus pada satu jenis disabilitas, misalnya kartu bahasa isyarat dan alat perekam bagi siswa tunarungu. Aplikasi pembaca layar, pembesar layar, tongkat putih, dan buku braile bagi siswa tunanetra. Serta modifikasi keyboard, kursi roda, dan alat bantu gerak bagi tunadaksa.
Tetapi sayangnya, ada beberapa kekurangan dalam digitalisasi pendidikan, di antaranya:
Kesenjangan akses teknologiÂ
Ketergantungan pada teknologiÂ
Pengaruh pergaulan bebas
Pengeluaran membengkak
Kurangnya interaksi sosial