Salah satu hal yang merupakan bagian dari budaya politik di Indonesia adalah kebebasan pers-nya. Di Indonesia, kebebasan pers berlandaskan pada Pasal 28F UUD 1945 Republik Indonesia yang berisi tentang perlindungan penggunaan berbagai media dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.Â
Setelah era reformasi tahun 1998, Landasan hukum kebebasan pers secara jelas dibahas dalam beberapa undang-undang negara Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers atau Undang-Undang Pers merupakan salah satu landasan hukum yang dibahas pada saat itu.Â
Munculnya berbagai media cetak dan media daring pada era reformasi menjadi masa awal keterbukaan pers di Indonesia.Â
Perkembangan teknologi informasi pada era reformasi juga turut mempengaruhi kebebasan pers. Dengan berkembangnya teknologi informasi, masyarakat awam dapat lebih mudah untuk menyampaikan pendapat serta dapat menyebarkan informasi dengan lebih cepat.Â
Tentunya, Media daring menjadi faktor pendukung yang paling utama dalam proses penyebaran informasi oleh masyarakat. Adanya media daring menciptakan model baru kebebasan pers di Indonesia dalam bentuk Citizen Journalism atau Jurnalisme warga yang dimuat melalui platform internet dengan berbasis blog.Â
Lalu, di zaman yang sudah maju ini apakah kebebasan pers masih saja terancam?
Kebebasan pers di Indonesia hingga saat ini masih mengalami pembatasan. Ragam pembatasan yang dilakukan mulai dari penyensoran, pelarangan penerbitan, hingga kriminalisasi dan ancaman kekerasan.
Menurut Indeks kebebasan pers tahun 2021 versi Reporters Sans Frontieres atau yang biasa disebut wartawan tanpa batas, Indonesia masih menempati urutan ke-133 pada Indeks Kebebasan Pers dan masuk dalam kategori ‘situasi sulit’ mengingat adanya pembatasan akses media yang drastis di Papua dan penyensoran diri oleh wartawan yang disebabkan oleh UU ITE.
Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei lalu nyaris luput atau bahkan tidak ada peringatan yang meninggalkan bekas dari perhatian wartawan.Â
Apalagi, kini banyak para wartawan yang mulai resah dan gelisah akibat kebebasan pers itu sendiri mulai terkikis oleh banjirnya informasi yang beredar dengan mudah di zaman yang maju ini, bahkan banyak dari masyarakat yang menelan mentah-mentah berita hoax yang ditayangkan.
Pembatasan Pers
- Ancaman jeratan hukum
Pembatasan kebebasan pers di Indonesia terwujud dalam bentuk kriminalisasi insan pers. Kriminalisasi insan pers masih sering terjadi dengan penuntut yang berasal dari kalangan masyarakat umum hingga para pejabat pemerintah.Â
Ancaman jeratan hukum dilakukan dengan memberikan tuntutan kepada wartawan yang menginvestigasi atau menyebarkan berita yang dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. Ketentuan hukum pidana bagi wartawan atau penulis berita dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sedikitnya terdapat 37 paragraf.Â
Dengan adanya ancaman tersebut, beberapa media dan aktivis hak asasi manusia menuntut supaya pencemaran nama baik dianggap sebagai pelanggaran hukum perdata, bukan hukum pidana.
Berikut ini merupakan aturan undang-undang yang membatasi kebebasan pers di Indonesia.
UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pembatasan dan ancaman yang diberikan adalah hukuman maksimal sembilan tahun kepada pemberitaan yang salah. Hukuman diberlakukan dengan sangkaan dapat menciptakan kekacauan dalam masyarakat.
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ancaman yang diberikan adalah hukuman penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal 10 miliar terhadap isi siaran yang dianggap menghina dan tidak benar.
UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. Pembatasan dan ancaman yang diberikan adalah penutupan media massa yang melakukan ketidakadilan dalam pemuatan berita kampanye peserta pemilihan umum.
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ancaman yang diberikan adalah hukuman penjara maksimal dua tahun dan denda maksimal 500 juta rupiah terhadap pelaku pemberi ancaman sensor dan pelanggaran pemberitaan.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ancaman yang diberikan adalah penjara maksimal satu tahun bagi pemberitaan yang menyalahgunakan informasi publik.
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman yang diberikan adalah hukuman penjara maksimal enam tahun atau denda maksimal 1 miliar bagi pemberitaan yang berkaitan dengan produk yang berisi penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bentuk elektronik. Pencemaran nama baik berlaku untuk hal rasial, agama, dan atau permasalahan etnisitas.
UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Pembatasan yang diberikan adalah adanya pengawasan dan turut campur dari kejaksaan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum pers serta peredaran barang cetakan.
- Ancaman Kekerasan Fisik
Diantara bentuk pembatasan kebebasan pers yang lain adalah ancaman kekerasan fisik terhadap wartawan. Meski dalam menjalankan tugasnya wartawan memiliki UU yang melindungi, namun kekerasan terhadap wartawan masih saja kerap terjadi.Â
Padahal, kebebasan pers dimaksudkan bukan hanya untuk kepentingan wartawan semata. Hak asasi publik atau masyarakat untuk mendapatkan informasi dari media massa juga merupakan tujuan penting dari adanya kebebasan pers.
Aliansi Jurnalis Independen Indonesia juga telah mencatat adanya tindak kekerasan terhadap 580 jurnalis mulai dari tahun 2011 hingga 2021.Â
Jenis pelanggaran kebebasan pers yang dilakukan antara lain kekerasan fisik, pengusiran, perusakan alat atau data hasil liputan dan masih banyak lagi.Â
Apa solusi yang tepat untuk mengatasi ancaman kebebasan pers di Indonesia?
Solusi yang tepat dalam setiap permasalahan adalah komunikasi. Komunikasi yang baik antara media (wartawan) dan masyarakat perlu diperbaiki agar pers di Indonesia dapat lebih mudah untuk menjalankan tugas mereka. Perlu diingat, bahwa tujuan kebebasan pers di Indonesia tidak lain adalah untuk masyarakat Indonesia itu sendiri.
Bagi masyarakat maupun pejabat pemerintah selayaknya terus memberikan suport bagi wartawan agar informasi dan berita tetap dapat kita akses dengan mudah sebagaimana mestinya.Â
Apabila terjadi penyimpangan, kekeliruan atau kesalahan dari media/wartawan dalam menyampaikan suatu informasi maka tugas kita sebagai masyarakat yang baik adalah mengoreksi dengan tindakan yang baik, diantaranya adalah melaporkan kepada pihak yang berwajib dan tidak main hakim sendiri.Â
Karena tidak baik bagi warga negara Indonesia yang bermartabat, kita menimbulkan perpecahan dengan adanya tindak kriminal dan kekerasan terhadap wartawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H