Ali bin Abi Thalib adalah salah satu tokoh paling penting dalam sejarah awal Islam. Ia adalah sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW melalui pernikahan dengan putri Nabi yaitu Fatimah dan beliau juga termasuk  khalifah keempat dalam Islam. Pemerintahan Ali sebagai khalifah terjadi setelah wafatnya Ustman bin Affan. Pemerintahan Ali diwarnai oleh berbagai peristiwa penting, termasuk konflik yang dikenal sebagai Perang Siffin.
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah salah satu sahabat Rasulullah yang pertama kali memeluk agama islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah SAW. Ali memiliki kedudukan yang istimewah, bahkan diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sahabat Umar bin Khatab pernah menyatakan bahwa "Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pandai menghukum diantara kami semuanya", Ibnu Mas'ud juga berkata demikian. Ali semenjak kecil sudah dididik dengan adab dan budi pekerti islam, dia termasuk orang yang fasih dalam berbicara dan pengetahuannya tentang islam juga sangat luas sehingga tidak heran dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak meriwayatkan hadis Rasulullah SAW.Â
Artikel ini mengulas sejarah pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yang akhirnya menghadapi pemberontakan dari sebagian masyarakat pada masa itu. Konflik ini berakar dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Ali, yang dianggap terlalu tegas karena menggantikan pejabat-pejabat yang sebelumnya ditunjuk oleh sahabat Utsman bin Affan. Hal ini terjadi sebelum Ali secara resmi diakui sebagai Khalifah oleh pendukungnya. Terutama, permintaan keadilan atas kematian Utsman yang diajukan oleh keluarganya, seperti Aisyah, Thalhah, dan Zubair, diambil oleh Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai peluang untuk melawan Ali.Â
Konflik ini menghasilkan serangkaian peristiwa penting, termasuk Perang Jamal, Perang Siffin, dan peristiwa Tahkim yang sangat terkenal. Peran diplomatis yang cerdik dari Amr turut mempengaruhi penurunan Ali sebagai Khalifah dan pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah yang sah. Selain itu, munculnya kelompok pemberontak Khawarij, yang ingin membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr, semakin menambah kompleksitas konflik tersebut. Penting untuk dicatat bahwa hanya Ali yang tewas dibunuh oleh Khawarij, sedangkan Amr dan Muawiyah selamat. Kematian Ali kemudian membuka babak baru dalam sejarah dengan munculnya dinasti Umayyah.
Biografi Ali Bin Abi ThalibÂ
Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul MuThalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Khilab Al-Quraisyi. Dilahirkan di Makkah 10 tahun sebelum kerasulan Muhammad, dan ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Abdul Manaf. Yang menarik tentang Ali adalah ia orang yang pertama dari Bani Hasyim. Karena itulah terkumpul padanya sifatsifat mulia bani Hasyim, seperti kecerdasan, kemurahan, keberanian, dan kewibawaan.
Ali adalah saudara sepupu nabi dari pamannya Abi Thalib. Â Kelahiran Ali bin Abi Thalib memberi kebahagiaan kepada Rasulullah karena beliau tidak memiliki anak laki-laki. Â Keluarga Abi Thalib memberikan kesempatan kepada Rosulullah bersama istrinya Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. . Nabi mendidik dan memelihara Ali dengan penuh kasih sayang sebagaimana merawat anaknya sendiri. Hidup bersama Nabi seperi ini serta mendapat bimbingan darinya memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap tingkah laku dan kepribadian Ali, Apabila waktu itu Ali masih kanak-kanak. Karena ia merupakan orang yang pertama beriman kepada ajaran Nabi dari golongan anak-anak dan remaja. Ali beriman sehari setelah keRasulan Nabi, sewaktu ia berusia 9 tahun.
"Ali semenjak kecil sudah dididik dengan adab dan budi pekerti Islam. Lidahnya amat fasih berbicara, dan dalam hal ini ia terkenal ulung. Pengetahuannya dalam agama Islam amat luas. Dan mungkin karena rapatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan Hadis Nabi. Keberanian dan manshur dan hampir di seluruh peperangan yang di pimpin Rasulullah, Ali tetap ada di dalamnya, bergulat atau berperang tanding, dengan tak takut mati. Sering Ali dapat merebut kemenangan dengan kaum muslimin dengan mata pedangnya yang tajam".
Pembaiatan Ali bin Abi Tahlib Sebagai Khalifah. Â
Setelah wafatnya Usman bi Affan, masyarakat Islam memproklamirkan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke empat di masjid Nabawi. Para kaum muslimin beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada yang patut menduduki kursi setelah Usman. Pengangkatan Ali sebagai khalifah melibatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk orang-orang yang sebelumnya telah menentang dan terlibat dalam penurunan Utsman. Dengan dukungan dari penduduk Madinah dan pasukan dari Mesir, Basrah, dan Kufah, Ali akhirnya terpilih sebagai khalifah. Konon, pada awalnya, Ali menolak tawaran ini, tetapi karena tekanan dari masyarakat dan atas pertimbangan dewan keamanan negara serta demi kepentingan umat Islam, ia akhirnya menerima jabatan khalifah ini, meskipun dengan rasa terpaksa.
Mendengar permintaan rakyat Ali berkata "Â Ini bukanlah urusan kamu, ini adalah urusan-urusan orang yang bertempur di Badar. Mana Thalhah, mana Zubair, dan mana Sa'ad?". Karena menurut Ali merekalah yang berhak menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah.Â
Dari jawaban Ali ini menunjukkan, bahwa pada dasarnya Beliau bukanlah orang ambisi jabatan. Ali sangat butuh pertimbangan dari tiga orang tersebut, karena mereka orang-orang berjasa dalam perang Badar di samping orang-orang yang dibentuk oleh Umar dalam memilih Usman sebagai khalifah. Â
Awalnya, sahabat-sahabat Zubair dan Thalhah menolak keras pengangkatan Ali sebagai khalifah. Namun, akhirnya, mereka merasa terpaksa untuk memberikan bai'at kepada Ali. Setelah memberikan bai'at, keduanya kemudian mengemukakan syarat tertentu, yang melibatkan tuntutan untuk menegakkan keadilan terkait kasus pembunuhan Utsman. Karena Ali belum memenuhi tuntutan mereka, akhirnya keduanya mencabut bai'at mereka. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa alasan pencabutan bai'at mereka mungkin terkait dengan tidak terpenuhinya harapan mereka untuk mendapatkan jabatan gubernur.
Kepemerintahan Ali menghadirkan berbagai keputusan politik yang mencakup:
1) Menerapkan regulasi finansial yang dianggap nepotisme secara berlebihan dan mengontrol mayoritas sektor bisnis.
2) Memberhentikan Gubernur yang sebelumnya ditunjuk oleh Utsman bin Affan dan menggantikannya dengan Gubernur yang baru.
3) Mengambil kembali tanah negara yang sebelumnya diberikan oleh Utsman bin Affan kepada keluarganya, termasuk hadiah dan alokasi tanpa alasan yang jelas, dan mengembalikan aset-aset ini ke baitul maal, yaitu kas umum negara.
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-661 M), sementara  dikutip  dari  buku  Teguh  Pramono  (100  Muslim  Paling  Berpengaruh)  tertulis empat  tahun  sembilan  bulan. Pada periode tersebut terasa begitu diwarnai oleh pergolakan politik yang tak pernah berhenti. Ali hampir selalu harus berurusan dengan pemberontakan yang muncul di berbagai wilayah kekuasaannya. Ali lebih sering ditemukan di medan perang, memimpin pasukan yang masih setia kepadanya, daripada fokus pada administrasi pemerintahan yang tertib atau ekspansi wilayah. Meskipun begitu, Ali berupaya keras untuk menciptakan pemerintahan yang transparan, berwibawa, dan merata. Ia berambisi untuk mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana yang pernah ada pada masa Abu Bakar dan Umar.
Pemberontakan Terhadap Ali Bin Abi Thalib  dan Permulaan Konflik
Buntut panjang kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan Ali kemudian melahirkan pemberontakan terhadap kelangsungan pemerintahannya. Mulai dari pemecatan pejabat-pejabat yang diangkat Utsman, hingga pada penarikan kembali tanah-tanah negara yang dibagikan Utsman semasa hidup kepada anggota keluarganya. Pengambilan kebijakan ekstrim oleh sahabat Ali sempat mendapat teguran dari sahabat Mughirah dan Ibnu Abbas. Mereka menyarankan Ali terlebih dahulu mendapat pengakuan dari masyarakat di negeri-negeri taklukan Islam yang jauh.Â
Ali memang tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia dapat mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah. Ali tahu bahwa Mu'awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah diangkat oleh pendahulunya yang mana kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering berbeda dengan Ali.
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi, menjadikan usaha Khalifah Ali bin Abi  Thalib tidak banyak berhasil. Terhadap berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali.  Marshall GS. Hudgson memaparkan: Setelah itu dua belas tahun setelah wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah  (yang berlangsung selama lima tahun). Yang makna harfiahnya godaan atau cobaan-cobaan,  suatu  masa  perang  saudara  untuk  menguasai  komunitas  muslim  dan teritori-teritori taklukannya yang luas.
Perang Jamal/OntaÂ
Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut beberapa ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan. Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib, sama seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat bai'at pada Ali. Faktor lain adalah persaingan dalam pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan sikap Ali yang tidak segera membai'at Abu Bakar, dan yang terakhir ada faktor Abdullah bin Zubair, yang berambisi untuk menjadi khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak terhadap Ali.Â
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam perang Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubair melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan menewaskannya. Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan karena keinginan dan nafsu seseorang yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Aturan ini jelas bertentangan dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah.Â
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan  pokok  untuk  kepentingan  umat  Islam  secara  keseluruhan.  Aturan ini  jelas bertentangan  dengan  mereka  yang  ingin  mengumpulkan  kekayaaan  termasuk  Zubair  dan Thalhah.  Terlebih  lagi  Ali sangat  berhati-hati  dalam  pembagian  rampasan  perang.  Ia memberi  bagian  yang  sama  kepada  semua  orang  tanpa  memandang status,  suku  dan  asal-usul mereka.
Setelah mengakhiri konflik dalam Perang Jamal, Ali bersiap untuk menghadapi tantangan berikutnya, yaitu Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang didukung oleh pasukan dari Irak, Iran, Khurasan, Azerbaijan, dan Mesir di bawah pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Ali berupaya untuk mencegah perang dengan menawarkan perdamaian, mengajukan tawaran bagi Mu'awiyah untuk membai'at Ali atau melepaskan jabatannya. Namun, Mu'awiyah menolak tawaran Ali dan bahkan meminta Ali dan pengikutnya untuk membai'atnya sebagai gantinya. Konflik ini akhirnya memuncak dalam apa yang dikenal sebagai Perang Siffin, yang terjadi di Shiffin dekat tepian sungai Efrat di wilayah Syam. Perang Siffin terjadi pada bulan Shafar tahun 37 H (658 M).
Korban terus berjatuhan di kedua belah pihak, terutama yang paling banyak dari pihak Mu'awiyah. Pasukan Mu'awiyah terus terdesak mundur, bahkan nyaris berada di ambang kekalahan dan kehancuran. Sebaliknya bagi pasukan Ali kemenangan sudah di depan mata.Â
Ali berniat meneruskan pertempuran sampai penghabisan. Tetapi sebagian prajuritnya menghendaki agar pertempuran dihentikan. Setelah pertempuran berhenti, diputuskanlah bahwa pertempuran tersebut harus diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai wakil dari kedua belah pihak, masing-masing kelompok yang bertikai memilih seorang wakil. Pihak Mu'awiyah memilih Amr bin Ash dengan suara bulat.Â
Sedangkan dalam kelompok Ali terjadi perbedaan pendapat, suara terbanyak memilih Abu Musa Al-Asy'ari, walau Ali sendiri menentangnya, namun karena desakan massa dan karena dipilih oleh suara terbanyak, Ali terpaksa menerima. Kedua orang penengah itu masing-masing dibantu 400 orang, dan seandainya para penengah itu tidak dapat menyelesaikan persoalan, maka akan diputuskan dengan suara terbanyak. Peristiwa ini dikenal dengan Arbitrase atau Tahkhim.
Ada  beberapa  faktor  yang  mempengaruhi  sehingga  Ali  Bin  Abhi  Thalib  dan Muawiyah terdorong untuk melakukan Tahkim, yakni:
Tahkim merupakan langkah terakhir dalam upaya damai antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah setelah konflik yang berlarut-larut.
Banyaknya umat Muslim yang tewas di medan perang telah mengakibatkan darah bercucuran, dan ada kekhawatiran bahwa umat Islam akan terancam kepunahan akibat konflik berkepanjangan.
Masyarakat umum sudah merasa jenuh dengan perang yang terus berlanjut tanpa tanda-tanda akhir, dan mereka mendambakan perdamaian.
Respon terhadap seruan dalam wahyu yang menekankan pentingnya berdamai, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa ayat 59 dalam Al-Quran.
Peristiwa Tahkim memiliki dampak politik yang merugikan Ali dan menguntungkan Mu'awiyah. Pada awalnya, Ali menjabat sebagai khalifah, sementara Mu'awiyah adalah seorang gubernur daerah yang tidak tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Melalui arbitrase, kedudukan Mu'awiyah dinaikkan menjadi khalifah, yang ditentang oleh Ali yang tidak ingin melepaskan jabatannya sebagai khalifah.
Tindakan Ali dalam mengadakan Tahkim juga tidak didukung oleh sebagian besar pasukannya, yang sangat kecewa dan merasa bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran. Akibatnya, sebagian besar dari mereka keluar dari mendukung Ali. Setelah peristiwa Tahkim, situasi politik berubah secara signifikan dan Mu'awiyah akhirnya menjadi khalifah dengan penolakan Ali terhadap tindakan tersebut.
Akhir pemerintahan Ali Bin Abhi Thalib
Banyak pemberontakan dan pemisahan sebagian pengikut Ali yang terjadi mengakibatkan banyak  pengikut  Ali  gugur  dan  berkurang  . Selain itu, hilangnya sumber pendapatan dan pasokan ekonomi dari Mesir yang dikuasai oleh Muawiyah berdampak negatif pada kekuatan Ali, sementara Muawiyah semakin memperkuat posisinya. Akibatnya, Ali terpaksa menyetujui perdamaian dengan Muawiyah untuk mengakhiri konflik. Â
Perdamaian ini sangat menggugah amarah kelompok Khawarij, yang semakin kuat dalam keinginan untuk menghukum mereka yang mereka tidak sukai. Ini mendorong mereka untuk sepakat untuk membunuh Ali, Mu'awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa al-Asy'ari. Namun, yang berhasil mereka bunuh hanya Ali, yang meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H (661 M), dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam yang ditugaskan untuk melaksanakan pembunuhan tersebut. Mu'awiyah dan Amr bin Ash, beruntungnya, selamat dari upaya pembunuhan ini.Â
Setelah Ali meninggal, posisi khalifah digantikan oleh anaknya, Hasan, selama lima bulan. Namun, karena tentaranya lemah dan kekuatan Mu'awiyah semakin kuat, Hasan memutuskan untuk membuat perjanjian damai. Perjanjian ini membawa kesatuan umat Islam di bawah kepemimpinan politik tunggal, yang dipegang oleh Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Namun, ini juga berarti bahwa Mu'awiyah menjadi penguasa mutlak dalam dunia Islam. Ini ditandai dengan tahun 4 H (661 M) yang dikenal sebagai tahun jama'ah, yang menandai akhir masa Khulafa'ur Rasyidin dan dimulainya era kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H