Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut beberapa ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan. Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib, sama seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat bai'at pada Ali. Faktor lain adalah persaingan dalam pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan sikap Ali yang tidak segera membai'at Abu Bakar, dan yang terakhir ada faktor Abdullah bin Zubair, yang berambisi untuk menjadi khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak terhadap Ali.Â
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam perang Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubair melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan menewaskannya. Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan karena keinginan dan nafsu seseorang yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Aturan ini jelas bertentangan dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah.Â
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan  pokok  untuk  kepentingan  umat  Islam  secara  keseluruhan.  Aturan ini  jelas bertentangan  dengan  mereka  yang  ingin  mengumpulkan  kekayaaan  termasuk  Zubair  dan Thalhah.  Terlebih  lagi  Ali sangat  berhati-hati  dalam  pembagian  rampasan  perang.  Ia memberi  bagian  yang  sama  kepada  semua  orang  tanpa  memandang status,  suku  dan  asal-usul mereka.
Setelah mengakhiri konflik dalam Perang Jamal, Ali bersiap untuk menghadapi tantangan berikutnya, yaitu Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang didukung oleh pasukan dari Irak, Iran, Khurasan, Azerbaijan, dan Mesir di bawah pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Ali berupaya untuk mencegah perang dengan menawarkan perdamaian, mengajukan tawaran bagi Mu'awiyah untuk membai'at Ali atau melepaskan jabatannya. Namun, Mu'awiyah menolak tawaran Ali dan bahkan meminta Ali dan pengikutnya untuk membai'atnya sebagai gantinya. Konflik ini akhirnya memuncak dalam apa yang dikenal sebagai Perang Siffin, yang terjadi di Shiffin dekat tepian sungai Efrat di wilayah Syam. Perang Siffin terjadi pada bulan Shafar tahun 37 H (658 M).
Korban terus berjatuhan di kedua belah pihak, terutama yang paling banyak dari pihak Mu'awiyah. Pasukan Mu'awiyah terus terdesak mundur, bahkan nyaris berada di ambang kekalahan dan kehancuran. Sebaliknya bagi pasukan Ali kemenangan sudah di depan mata.Â
Ali berniat meneruskan pertempuran sampai penghabisan. Tetapi sebagian prajuritnya menghendaki agar pertempuran dihentikan. Setelah pertempuran berhenti, diputuskanlah bahwa pertempuran tersebut harus diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai wakil dari kedua belah pihak, masing-masing kelompok yang bertikai memilih seorang wakil. Pihak Mu'awiyah memilih Amr bin Ash dengan suara bulat.Â
Sedangkan dalam kelompok Ali terjadi perbedaan pendapat, suara terbanyak memilih Abu Musa Al-Asy'ari, walau Ali sendiri menentangnya, namun karena desakan massa dan karena dipilih oleh suara terbanyak, Ali terpaksa menerima. Kedua orang penengah itu masing-masing dibantu 400 orang, dan seandainya para penengah itu tidak dapat menyelesaikan persoalan, maka akan diputuskan dengan suara terbanyak. Peristiwa ini dikenal dengan Arbitrase atau Tahkhim.
Ada  beberapa  faktor  yang  mempengaruhi  sehingga  Ali  Bin  Abhi  Thalib  dan Muawiyah terdorong untuk melakukan Tahkim, yakni:
Tahkim merupakan langkah terakhir dalam upaya damai antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah setelah konflik yang berlarut-larut.
Banyaknya umat Muslim yang tewas di medan perang telah mengakibatkan darah bercucuran, dan ada kekhawatiran bahwa umat Islam akan terancam kepunahan akibat konflik berkepanjangan.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!