Mohon tunggu...
anisa amalia azzahra
anisa amalia azzahra Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Universitas Negeri Surabaya

fotografer

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengatasi Tantangan Perkembangan Anak Usia Dini Di Indonesia

3 Desember 2024   19:57 Diperbarui: 4 Desember 2024   06:11 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

MENGATASI TANTANGAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI INDONESIA

Perspektif Data dan Teori Perkembangan

Sumber berita : laporan tahunan 2022 (UNICEF)

 

 

Anak usia dini adalah harapan bangsa. Dalam periode emas ini, perkembangan otak mencapai hingga 90% kapasitas dewasa. Pada fase ini pula, anak membangun dasar untuk keterampilan fisik, kognitif, sosial, dan emosional yang akan mereka bawa sepanjang hidup. Sayangnya, laporan UNICEF Indonesia 2022 mengungkap berbagai tantangan signifikan yang dihadapi anak-anak usia dini di Indonesia, mulai dari krisis gizi, ketimpangan pendidikan, hingga ancaman kekerasan. Dengan mengintegrasikan data dari laporan tersebut dan teori perkembangan anak, esai ini menganalisis masalah yang muncul dan memberikan solusi berbasis ilmu perkembangan.

  • Pandemi COVID-19 dan Ketertinggalan Pembelajaran

Pandemi COVID-19 membawa dampak besar pada pendidikan anak-anak, khususnya di usia dini. Selama hampir dua tahun, sekolah-sekolah di Indonesia ditutup. Laporan UNICEF 2022 mencatat bahwa hingga 4,1 juta anak usia sekolah tidak bersekolah pada tahun 2022. Di Papua, tingkat buta aksara pada anak meningkat drastis dari 32% pada masa prapandemi menjadi 57% selama pandemi. Selain itu, capaian pembelajaran menurun tajam dengan angka ketertinggalan literasi sebesar 40% dan numerasi sebesar 56%.

Dalam perspektif teori kognitif Jean Piaget, anak usia dini berada pada tahap praoperasional. Pada tahap ini, anak-anak belajar melalui interaksi langsung dengan lingkungan dan orang lain. Kehilangan akses ke pendidikan formal selama pandemi berarti kehilangan lingkungan belajar yang sangat penting bagi perkembangan kognitif dan sosial mereka. Ketimpangan ini semakin nyata di wilayah-wilayah terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana akses internet yang rendah memperparah isolasi pendidikan.

Sebagai solusi, UNICEF meluncurkan program Safe Return to Learning untuk membantu anak-anak kembali ke sekolah dengan aman. Kampanye ini menjangkau lebih dari 22 juta orang melalui televisi dan 19 juta orang melalui media sosial. Selain itu, program PAUD-HI (Holistik Integratif) mendukung pendidikan usia dini dengan pendekatan yang menggabungkan pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak. Langkah-langkah ini sejalan dengan pandangan Bronfenbrenner bahwa dukungan lingkungan yang positif di tingkat mikro (keluarga dan sekolah) dan makro (kebijakan pemerintah) sangat penting bagi perkembangan anak.

  • Krisis Gizi: Stunting dan Wasting

Indonesia menghadapi salah satu tingkat stunting dan wasting tertinggi di dunia. Data UNICEF menunjukkan bahwa 3 dari 10 anak balita mengalami stunting, sementara 1 dari 10 anak menderita wasting. Stunting tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik tetapi juga perkembangan otak, yang mengurangi kapasitas belajar dan produktivitas di masa dewasa.

Menurut teori perkembangan bioekologi Urie Bronfenbrenner, masalah stunting mencerminkan kelemahan dalam dukungan lingkungan, baik dari keluarga (sistem mikro) maupun pemerintah (sistem makro). Keluarga dengan keterbatasan ekonomi sering kali tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak mereka. Di sisi lain, distribusi bantuan makanan dan program kesehatan belum sepenuhnya menjangkau wilayah-wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi.

Sebagai respons, UNICEF mendukung program seperti Aksi Bergizi, yang melibatkan masyarakat dalam kampanye kesadaran gizi. Selain itu, makanan terapi lokal (RUTF) diperkenalkan sebagai solusi untuk anak-anak dengan wasting parah. Sebuah studi di Bogor menunjukkan bahwa 70% anak-anak yang mengonsumsi RUTF berbahan lokal berhasil pulih dalam waktu delapan minggu. Program ini menyoroti pentingnya inovasi berbasis lokal untuk mengatasi krisis gizi.

  • Kekerasan terhadap Anak dan Ketidakamanan Daring

Kekerasan, baik di dunia nyata maupun daring, menjadi ancaman serius bagi perkembangan anak di Indonesia. Laporan UNICEF menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak yang mengalami kekerasan daring tidak melaporkannya. Sementara itu, meskipun angka perkawinan anak turun dari 10,35% pada tahun 2021 menjadi 9,23% pada tahun 2022, masalah ini masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah pedesaan.

Dalam teori psikososial Erik Erikson, anak usia dini berada dalam tahap "inisiatif versus rasa bersalah," di mana mereka membangun rasa percaya diri dan rasa aman. Kekerasan, baik fisik maupun emosional, dapat menghambat perkembangan ini, menciptakan rasa takut yang mendalam dan kehilangan rasa percaya terhadap orang-orang di sekitar mereka.

Untuk melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan daring, UNICEF meluncurkan aplikasi Jogo Konco, yang memberikan informasi tentang keamanan di dunia maya. Aplikasi ini juga membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko yang dihadapi anak-anak di internet. Selain itu, kampanye edukasi seperti ROOTS, yang mendorong anak-anak menjadi agen perubahan di sekolah mereka, telah menjangkau lebih dari 150.000 siswa di seluruh Indonesia. Program ini tidak hanya membangun lingkungan yang aman tetapi juga mendorong anak-anak untuk aktif dalam perlindungan diri mereka sendiri.

  • Ketimpangan Akses Layanan Kesehatan

Pandemi COVID-19 juga menyebabkan penurunan signifikan dalam layanan kesehatan penting, termasuk imunisasi. Pada tahun 2021, lebih dari 1,1 juta anak tidak menerima vaksin dasar. Hal ini meningkatkan risiko mereka terhadap penyakit yang sebenarnya dapat dicegah, seperti campak dan polio. Pada tahun 2022, kampanye imunisasi kejar berhasil memberikan vaksin kepada 26,5 juta anak, dengan cakupan mencapai 94,6% untuk imunisasi dasar.

Menurut Bronfenbrenner, layanan kesehatan mencerminkan interaksi antara sistem mikro (keluarga) dan ekosistem makro (kebijakan kesehatan). Program imunisasi yang berhasil menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat dalam menyediakan akses kesehatan bagi anak-anak, terutama di daerah terpencil seperti Maluku dan Papua.

Namun, ketimpangan tetap ada. Laporan UNICEF mencatat bahwa daerah terpencil menghadapi tantangan logistik dan infrastruktur, seperti keterbatasan fasilitas penyimpanan vaksin. Untuk mengatasi masalah ini, tenaga kesehatan dibekali dengan pelatihan dan dukungan logistik tambahan untuk memastikan vaksin tetap aman hingga mencapai anak-anak di wilayah yang sulit dijangkau.

Pendidikan usia dini tidak hanya tentang belajar membaca dan menulis. Program PAUD-HI yang didukung oleh UNICEF mengintegrasikan pendidikan dengan layanan kesehatan dan perlindungan anak. Di NTT, program ini telah melatih 160 guru PAUD dan melibatkan lebih dari 3.200 orang tua dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka.

Menurut Piaget, pendidikan usia dini harus berbasis pada pengalaman konkret yang memfasilitasi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional. Guru yang dilatih dalam program PAUD-HI tidak hanya mengajarkan literasi dan numerasi tetapi juga memantau kesehatan anak, termasuk mendeteksi tanda-tanda malnutrisi. Dengan pendekatan holistik ini, anak-anak tidak hanya mendapatkan pendidikan tetapi juga perhatian kesehatan dan perlindungan yang mereka butuhkan.

  • Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi anak usia dini, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

  1. Peningkatan Gizi Anak: Memperluas distribusi makanan terapi lokal dan kampanye kesadaran gizi ke wilayah terpencil.
  2. Perlindungan Anak: Memperkuat kebijakan anti-kekerasan, baik di dunia nyata maupun daring, dengan meningkatkan akses ke layanan perlindungan anak.
  3. Pendidikan Inklusif: Memastikan semua anak, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil, memiliki akses ke pendidikan usia dini yang berkualitas.
  4. Investasi pada Kesehatan: Memperluas cakupan imunisasi rutin dan meningkatkan infrastruktur kesehatan di wilayah terpencil.
  5. Kolaborasi Multisektor: Meningkatkan sinergi antara pemerintah, lembaga internasional, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak.

Kesimpulan

Anak usia dini adalah fondasi masa depan Indonesia. Tantangan seperti stunting, ketertinggalan pendidikan, kekerasan, dan ketimpangan layanan kesehatan harus diatasi dengan pendekatan yang menyeluruh dan berbasis ilmu perkembangan. Laporan UNICEF 2022 menunjukkan bahwa dengan intervensi yang tepat, seperti program PAUD-HI, Aksi Bergizi, dan kampanye imunisasi, Indonesia dapat memberikan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.

Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia." Dengan berinvestasi pada anak usia dini, Indonesia tidak hanya membangun generasi yang sehat dan cerdas, tetapi juga memastikan masa depan bangsa yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun