Kekerasan sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun antar teman sebaya. Kekerasan biasanya menimpa mereka yang tidak berdaya. Maraknya kekerasan terhadap perempuan telah menjadi hantu yang mengerikan bagi semua perempuan, terutama perempuan yang sibuk melakukan aktivitas di luar rumah, meskipun perempuan yang melakukan pekerjaan rumah juga mungkin mengalami hal yang sama.
Kekerasan yang terjadi pada perempuan disebabkan oleh sistem nilai yang memperlakukan perempuan sebagai perempuan yang lemah dan inferior dibandingkan dengan laki-laki. Banyak orang masih percaya bahwa perempuan dipinggirkan, dikendalikan, dieksploitasi dan diperbudak oleh laki-laki. Kekerasan pada dasarnya merupakan kenyataan di masyarakat saat ini, yaitu kekerasan terhadap perempuan masih cukup banyak, dan terjadi kapan saja dan dimana saja.
Tidak sedikit pengungkapan tentang kekerasan terhadap perempuan. Banyak perempuan yang berani melaporkan insiden kekerasan seksual yang dialaminya. Beberapa tokoh masyarakat menjadi juru bicara anti kekerasan terhadap perempuan karena mengalami kekerasan secara langsung. Namun, jika dicermati, masalah pelecehan seksual ini masih dianggap sebagai masalah kriminal.
Dilansir dari laman berita CNN, bahwa dari 6.480 kasus kekerasan yang terjadi dalam hubungan personal, sebanyak 1.938 atau 30 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Angka tersebut berselisih sedikit dengan kekerasan jenis fisik dengan angka 2/025 atau 31 persen.
Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa lingkungan pendidikan bukanlah tempat yang aman bagi siswa yang mengalami kekerasan seksual. Mereka menjelaskan hal ini dalam lembar fakta tentang kekerasan seksual dalam pendidikan. Dari segi pendidikan di semua jenjang, 14 kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi, 10 kasus di pendidikan agama, 8 kasus di SMA/SMK, 5 kasus tidak teridentifikasi, dll, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan secara psikis, dan bentuk diskriminasi sebagai contoh pengusiran dari sekolah.
Belakangan ini masyarakat di kejutkan oleh beberapa kasus pelecehan seksual, salah satunya yang sangat banyak diperbincangkan terkait kasus pelecehan seksual di dalam perguruan tinggi. Penelitian tentang pelecehan seksual perguruan tinggi sejauh ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori: kesadaran mahasiswa terhadap kekerasan seksual, dampak pelecehan seksual terhadap korban, dan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual.
Penanganan kasus pelecehan seksual perguruan tinggi cukup rumit, tidak hanya terkait aturan pencegahan dan penanggulangan pelecehan seksual, tetapi juga terkait birokrasi dan kualitas sumber daya manusia. Birokrasi yang kondusif akan mendukung terciptanya lingkungan kampus yang ramah gender dan terhindar dari pelecehan seksual, sebaliknya birokrasi yang kaku dan kompleks akan mengakibatkan ter-abaikannya korban pelecehan seksual di perguruan tinggi.
Lembaga pendidikan seharusnya bisa menadi ruang yang aman bagi siswa dalam menumbuhkembangkan softskill dan literasi. Namun, bagi para penyintas, sepertinya tidak demikian. Kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya kasus pelecehan seksual. Bahkan, kasus seperti ini sering terjadi di sekolah dan perguruan tinggi, dan sudah menjadi "rahasia umum" yang "tidak sengaja dilupakan oleh sebagian besar pihak". Kuatnya stigmatisasi terhadap korban pelecehan seksual, apalagi partai politik juga melakukannya yang notabenenya berkuasa di lembaga pendidikan, membuat sedikit korban pelecehan seksual berani untuk melapor kejadian tersebut. Selain itu, tidak adanya kebijakan atau bahkan sanksi terhadap pelaku kekerasan mengakibatkan sangat sedikitnya tindak lanjut dari laporan yang diterima.
Faktor biologis dan faktor sosil budaya, merupakan dua faktor yang secara umum menyebabkan terjadinya kasus pelecehan seksual. Pertama, faktor biologis menganggap bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual dibandingkan dengan perempuan, sehingga laki-laki cenderung bertindak terhadap perempuan. Dalam faktor ini, diasumsikan bahwa baik pria maupun wanita sangat menarik satu sama lain. Oleh karena itu, respon yang diharapkan dari wanita adalah merasa tersanjung, atau setidaknya tidak kesal dengan perilaku tersebut. Namun nyatanya, korban merasa kesal dan terhina karena pelaku melecehkannya.
Kedua, faktor sosial budaya yang tumbuh di masyarakat adalah ketimpangan gender dan relasi kuasa. Faktor ini menggambarkan bahwa pelecehan seksual adalah sistem kepartaian, anggapan bahwa laki-laki lebih berkuasa didukung oleh keyakinan sosial. Penyebab korban berdiam diri dan tidak berani untuk menolak, tepatnya karena terpaksa saat menghadapi pelecehan seksual sering ditemui karena adanya faktor relasi kuasa.
Jika kita cermati terdapat relasi kuasa yang mendominasi dan juga terdominasi. Ini dijelaskan dalam asumsi teori konflik bahwa masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Di dalam masyarakat, teori konflik ini melihat adanya sebuah kekuasaan, dominasi, dan koersi. Pada kasus pelecehan seksual disebabkan adanya Ketimpangan relasi gender ini disebabkan oleh konstruksi gender yang patriarki dalam masyarakat, yang menempatkan laki-laki pada posisi superior, dominan dan agresif, sementara menempatkan perempuan pada posisi yang kurang beruntung, patuh dan pasif.