Mohon tunggu...
D4U
D4U Mohon Tunggu... Mahasiswa - In Neverland With The Elf

Hanya sebuah pena yang sedan mencari tintanya. selamat datang, terima kasih sudah meluangkan waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suratan dari Surga

12 November 2021   13:07 Diperbarui: 12 November 2021   13:26 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Janji apa, Nek?" Kening Asya berkerut heran. Menatap neneknya yang berwajah serius. Sangat berbeda dengannya yang memancarkan sinar bahagia.

"Tolong janji sama nenek. Berhenti mencari mamamu. Mamamu tidak kan pernah kembali lagi. Kembalipun itu mustahil."

Hening diantara mereka. Tarikan napas dalam nenek terdengar jelas. Menggambarkan bahwa wanita tua itu sudah lelah dengan sikap cucunya.

"Janji sama nenek. Berhenti berkhayal, dan berhenti menulis surat yang kamu tunjukkan untuk dirimu sendiri. Nenek mohon, Asya." Ini bukan kejadian pertama bagi mereka. Trauma yang membuat asya bertindak seperti ini.

Asya menatap neneknya dalam. Ceria itu hilang. Bersamaan dengan tawa yang memudar. Asya tertegun sejenak. Memikirkan setiap kata yang kini berputar memenuhi otaknya. Tepat seperti tangan besar yang menampar, ucapan itu tepat mengenai sasaran. "Aku, melakukannya lagi, Nek?" suara itu terdengar melemah. Menyusup memasuki indra pendengaran nenek. " Mama, tidak akan pernah kembali?"

"Lupakan mama. Masa depanmu masih panjang. Jangan  habiskan masa hidupmu untuk memikirkan seseorang yang tidak akan pernah kembali. Mamamu sudah tenang di sisi Tuhan." Tak banyak yang bisa dilakukan nenek. Beliau hanya mengusap pundak Asya menguatkan. Beliau tau kali ini Asya akan kembali rapuh. Namun, membiarkan Asya bahagia dengan imajinasinya akan menambah buruk keadaan. Biarkan Asya rapuh. Biarkan Asya menangis. Biarkan Asya marah. Biarkan Asya membenci takdirnya. Setidaknya untuk beberapa saat. Bukan untuk selamanya.

Gadis itu sudah bergetar dengan suara isakan. Surat-surat yang tadinya ia genggam kini berjatuhan. Seperti daun yang terlepas dari pohonnya. Dentuman guntur seolah membaur. Belum lagi air langit yang juga ikut turun. Menemani Asya menangis dengan ceritanya.

Malam ini, tepat menginjak sepuluh tahun ia berharap bahwa ibunya akan kembali. Malam dimana semua imajinasinya hancur begitu saja. Trauma itu menyiksanya.

***SELESAI***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun