Ku pejamkan mata. Tidak ada gunanya aku melawan. Bisa saja bullyan itu semakin kejam nantinya. Jadi, biarkan saja aku berbau amis pulang nanti. Daripada aku melawan hari ini dan besok ku dapatkan yang lebih dari sekedar telur.
"Tiga lawan satu rasanya tidak adil."
"Haidar?"
Tunggu. Siapa yang mereka sebut namanya? Ku beranikan diri untuk buka mata ku memastikan. Benar saja. Sudah ada Haidar berdiri dengan tangan yang mencekal tangan Dara. Persis seperti cerita dongeng yang ku baca. Aku sedang mimpi atau apa?
"Pergi atau saya laporkan pada guru?"
Ku lihat mata hangat Haidar berubah menjadi tajam. Mata itu seolah menguliti Dara dan teman-temannya. Membuat tiga wanita di hadapan ku diam tanpa kata. Membuat Dara mengibaskan tangan Haidar. Pergi meninggalkan Haidar dan aku.
"Tidak apa-apa? Mari berdiri." Aku mengangguk seraya bangkit dari jatuh ku.
Dan pagi ini, aku kembali berjalan di koridor itu. Dengan wajah ceria serta Haidar yang ikut berjalan di samping ku. Kejadian hari itu membuat ku dekat dengan Haidar. Haidar sering menemani ku. Berbelanja di kantin, menjadi teman sebangku, bahkan, ketika pergi dan pulang sekolah aku selalu bersama Haidar. Berkat kejadian itu pula aku mengerti apa itu teman. Aku beruntung. Ketika aku mengerti apa itu teman, orang yang ku suka yang memperkenalkannya.
Sesekali aku menoleh padanya. Masih tidak percaya bahwa ini nyata. Pada saat pandangan kami bertemu, Haidar memberikan senyuman terbaiknya. Membuatku ikut menarik sudut bibirku. Astaga... wajah itu, senyum itu, seolah itu milikku. Candu itu kian membesar. Membuatku ingin dipuaskan.
"Kenapa liatin nya gitu banget, sih?"
Aku kembali tersenyum saat pertanyaan itu dilontarkan olehnya. Menunduk malu menyembunyikan muka. Mana mungkin aku mengatakan bahwa dia candu ku.