Suara berisik manusia berseragam putih abu-abu itu bergantian menelusup masuk ke indra pendengaran ku. Dengan ruangan berukuran sembilan kali delapan meter berisi dua puluh enam manusia? Itu sangat berisik. Aku Arini. Salah satu dari dua puluh enam manusia yang mengisi ruangan itu. Duduk sendirian dengan sejuta mimpi dan imajinasi. Teman? Aku tidak tau itu kata dari kategori apa. Aku tidak pernah mengenalnya. Yang selalu ada bersamaku hanyalah sebuah buku cerita.
Walaupun begitu, bukan berarti aku tak punya pujangga. Dia ada. Dan kini aku sedang memandangnya. Dua meja dan kursi di hadapanku menjadi pemisah jarak diantara kami.
Dia Haidar. Murid baru sejak dua hari lalu. Dan sejak dua hari lalu pula namanya begitu populer di kepalaku. Senyuman manisnya selalu memenuhi otakku. Tapi, sedikitpun tidak ada keberanian untukku menyapanya. Sekedar memperkenalkan diri atau hanya menyebut namanya saja aku tidak berani. Mataku membuang arah kala tatapan kami bertemu. Luasnya lapangan olahraga menjadi pelampiasan ku. Aku malu. Merutuki kebodohan ku karena ketahuan memandangnya.
Sesekali ku lihat lagi dia yang kembali bercengkrama. Memandangnya secara diam mungkin menjadi hobi baruku.
Aku sedikit menguap. Senyum candu itu seolah tak mampu membendung kantuk ini. Semalam, aku terlambat tidur. Menyelesaikan satu buku cerita membuatku lupa waktu. Inilah resikonya. Mengantuk dalam kelas. Ku lihat jam yang melingkar ditangan kiri ku. Masih setengah tujuh. Namun kantuk ini seolah sudah jam satu malam.
Aku sedikit menundukkan kepala dengan tangan yang memijat pelipis ku pelan. Berharap kantuk itu sedikit memud ar. Sampai ku rasakan decitan bangku di samping ku menyusup pendengaran. Sudah ku jelaskan sejak awal. Ingat aku Arini. Manusia yang tidak mengenal apa itu teman. Sudah jelas aku duduk seorang diri di bangku paling pojok, belakang dekat jendela.
Ku lirik sejenak siapa yang mengisi bangku di samping ku. Dia tersenyum manis kearah ku. Ah, senyum itu. Jiwa ku sedikit terbang dengan senyuman itu. Namun, sadar membuat ku kembali terkejut. Haidar? Dia duduk di sampingku?
Ku buang pandanganku ke depan. Dengan jari yang bermain ujung buku cerita. Ku lihat pula suasana kelas ku. Ada yang masih sibuk dengan kegiatannya. Ada juga yang memusatkan pandangannya pada ku. Atau pada Haidar   mungkin. Tidak terkecuali Dara dan para dayangnya. Mereka menatap ku tajam. Dara fans Haidar garis keras. Aku tau resikonya jika Haidar di dekat ku.
"Saya boleh duduk di sini, kan?"
Suara itu. Suara yang selalu kudengar dari jauh kini dapat ku dengar dengan jelas. Begitu hangat dan mungkin akan menjadi candu baruku setelah senyuman itu.
"Ari terlalu berisik. Saya tidak suka. Jadi, boleh, kan?" Sambungnya lagi.