Mohon tunggu...
Anis Endang Sunarsih
Anis Endang Sunarsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mengabadikanmu melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paham

20 Juni 2024   00:17 Diperbarui: 20 Juni 2024   00:23 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berbaring di kasur dengan kalender kecil di tangan kananya, Arisha yang tengah sibuk mencoret-coret bagian demi bagian kertas dengan pensil warna-warni miliknya. Lingkaran merah muda dengan bunga mawar menghiasi angka 22, "Mas Arsel akan pulang minggu depan, tepat dua hari sebelum perayaan pernikahan ku dengannya."

Arsel adalah seorang abdi negara yang tergabung dalam satuan Brimob di Surabaya. Tuntutan pekerjaan yang dimilikinya sering kali memaksa Arsel untuk berpindah tugas dari satu kota ke kota lainnya. Satu tahun lalu tepatnya tiga bulan setelah mereka menikah, Arsel dipindah tugaskan dari Yogyakarta ke Surabaya. Arisha istrinya ikut berpindah dan harus rela menanggalkan pekerjaannya menjadi seorang direktur badan penerbit surat kabar ternama di kotanya. Awalnya berat bagi Arisha, tetapi ia selalu berpikir bahwa karier suaminya lebih penting, "toh kalo aku memiliki anak juga akan di rumah"

"Sha, mas pulang," panggil Arsel sambil mengetuk pintu.

"tok..tok..tok.. Sayang buka pintunya ini Mas" teriak Arsel sambil bersiul setelahnya.

"Hmm, iya Mas sebentar" bergegas Arisha meraih sisir dan menyemprotkan parfum kesukaan Arsel di lehernya.


Arisha beranjak membuka pintu dan menyodorkan tangan kananya, "loh Mas Arsel pulang kok ga ngabarin aku" tanya Arisha. "Maaf ya sayang, tadi Pak Brian telfon proyek di Solo diundur bulan depan katanya." Sambil melepaskan jaket dan membersihkan tubuh suaminya Arisha bergumam gembira.


"Mas, berarti kamu bakal di rumah nemenin aku dong ya" tanya Arisha dengan mata gembira.

"In syaa allah sayang, kalo ga ditelfon Pak Brian wkwk" ucap Arsel dengan nada mengejek sembari mengelus kepala Arisha.

"Alah Mas kamu itu lo, sukanya ninggalin aku. Awas lo nanti aku ditemenin orang lain"

"Boleh sha, tapi nanti dorrr...." sahut Arsel yang sedang menaruh pistol miliknya di meja samping tempat tidur.

"Udah Mas mandi dulu, abis itu makan aku bikinin mie instan yaa"


Meskipun Arsel dan Arisha tak pernah melewatkan satu malam pun untuk berdua, nyatanya mereka masih enggan untuk memiliki momongan. Arisha merasa belum siap selagi suaminya masih sering dinas ke luar kota. Ia tak ingin anaknya melewati tumbuh kembang tanpa seorang Ayah.

"Mas kamu kok udah bangun?" Sambil menengok ke jendela mengamati tukang sayur langganan di depan komplek. "Belum lewat ya mas" tanya Arisha, "Sha, memang kalo aku dinas kamu juga masak?" tanya Arsel. "Mas," menghela nafas dalam, "aku tiap hari itu masak meskipun kamu ga di rumah. Uang yang kamu kasih ke aku ga pernah habis seluruhnya." "Loh Sha, aku kan kasih uang itu memang buat kamu seneng-seneng, kalo aku ga di rumah kan kamu bisa pergi jalan-jalan sesukamu" ucap Arsel terheran dengan istrinya.


Arisha hanya diam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Ia pergi ke depan rumah sambil membawa teh manis yang dibuatkan Arsel untuknya. "Manis banget mas ini," Arsel bergegas menghampiri Arisha, "alah kamu selalu gitu sha dari jaman masih pacaran, seakan suamimu ini gabisa apa-apa" Arsel tertawa kecil sambil menghembuskan asap rokok di samping Arisha.

"Uhuk..huk..Mas jangan di sini ngrokoknya" Arisha megelus dadanya yang sesak.

"Uhuk..huk.."

"Apa to sha, aku kan cuma pengen duduk di sebelahmu."


Arisha melamun dan berpikir bagaimana cara agar suaminya ingat hari jadi pernikahan mereka. "Emmm, mas kamu udah ngecek tanggalan belum?" Arisha mulai bersikap bodoh dengan menanyakan hal-hal yang menurut Arsel tidak penting. Begitu pula Arsel yang selalu berbicara dengan candaan miliknya. "Kenapa sha, kamu diundang ultah anak tetangga po?" dengan santai sedikit meledek Arsel menanggapi pertanyaan pancingan yang kerap dilontarkan istrinya. Sebenarnya Arsel paham akan karakter Arisha yang haus akan perhatian dan kasih sayang. Arsel menganggap hidup bersama dan selalu menjaga perasaan untuknya saja sudah cukup. Tidak perlu menjadi romeo di kehidupan nyata.

"Sialan, selalu saja begitu" desis Arisha sambil masuk meninggalkan Arsel. Arisha bertaut, mulai mendengarkan bisikan bising gejolak pikiran dan batinnya. Arisha mulai berpikir bahwa Arsel tidak pernah peduli dengan hal-hal kecil di hidupnya. "Jangankan anniv pernikahan, ultahku kemarin saja dia lupa" suara hati Arisha yang kesal menambah gelap suasana. Arisha menyentuh dadanya sambil berkata "seharusnya memang aku tidak mengharapkan apa pun dari mas Arsel, setiap kali aku berharap, selalu luka yang ku dapatkan sebagai balasan."


"Sayang aku berangkat kerja dulu, nanti aku pulang kok. Cuma apel aja hari ini." Arisha yang masih kesal tidak menanggapi Arsel. Tau jika istrinya sedang tidak baik-baik saja, Arsel terus berusaha mengajak Arisha bicara. Hem iyaa, hem iya mas sahut Arisha tak pernah berubah.

Tinnnnn! Tinnnnnn! Tinnnnn!

Arisha kesal, berjalan cepat menghampiri Arsel. "Mas brisik!"

Menurunkan kaca mobilnya "Sha lihat belakangmu, duduklah"

"Apa sih kamu tu ga mutu" sambil menengok belakang ke arah dua kursi di depan rumahnya.

"Shaaaa....Arishaaaaa" berteriak kencang.

Arisha yang jengkel menatap Arsel dengan kening mengkerut dan alis menyatu. Tak ada sepatah kata pun untuk menanggapi gurauan Arsel siang itu.

"Sha, aku berangkat," melambaikan tangan ke arah Arisha "Jaga bangku ku di sebelahmu." Tidak peduli dengan suaminya, Arisha bergegas masuk rumah.

"Sayang maaf aku nanti pulang sedikit terlambat. Aku sudah pesankan martabak coklat keju kesukaanmu. Kamu cantik kalo marah, tapi lebih cantik lagi kalo ga marah. Aku mencitaimu." Sambil tersipu malu Arisha membaca pesan singkat dari suaminya.

Arisha melirik kalender di atas meja. Mengamati angka 22 dengan berbagai gambar indah hasil karyanya. Arisha menarik oksigen dalam-dalam, mengeluarkannya secara perlahan. Hatinya berbicara "Memang seharusnya aku yang melakukan, resiko menikah dengan lelaki kaku ya gini"

Arisha bergegas bangun dari dipan empuk di kamarnya. Mencari ponsel yang entah ia letakkan di mana.

"Akhirnya ketemu."

Itikad kecil terbesit di pikiran Arisha. Semacam agenda malam pertama untuk kedua kalinya. Arisha memesan ruangan disalah satu hotel untuk merayakan hari jadi pernikahannya. Ruangan kecil dengan bunga di lantai membentuk nama mereka. Kain putih bersih membentang di atas meja bundar dengan berbagai piranti yang melengkapi. "Dinner istimewa Tn. Arsel dan Ny. Arisha" gumam Arisha sambil sedikit menahan tawa.

Setiap malam sebelum tidur, Arsel dan Arisha selalu terbaring diam menatap langit-langit putih dengan lampu kuning redup, menambah kesunyian malam gerimis selepas senja yang tiada hentinya. Arisha yang mulai berbalik arah diikuti Arsel dengan tangan mengusap rambut istrinya.

"Sha, kita udah lama menikah.." belum Arsel menyelesaikan perkataannya, sudah disahut dengan sinis oleh Arisha.

"Aku tau mas! Harusnya kamu juga paham kalo aku takut ngelakuin itu sendiri, aku takut mas aku ga mampu"

"Aku kan dinas juga ada pulangnya, aku pergi juga buat kerja sha, buat kamu. Apa to yang ganggu kamu selama ini?"

"Aku percaya mas kamu kerja ya kerja. Aku cuma gamau kamu melewatkan masa tumbuh kembang anak kita nanti, itu aja." Sambil menahan tangis Arisha memalingkan badanya membelakangi Arsel.

Tangan Arisha meraih kalender di meja, melempar dengan pelan ke arah Arsel tanpa menatap ataupun melirik suaminya.

"Itu yang dilingkari, kalo mas inget. Lusa aku mau kamu temani aku. Kalo memang kamu ingin hal itu, aku harap kamu bisa luangin waktu." Arisha mulai memejamkan mata dengan air mata yang menetes di kain bantal berwarna biru tua.

Menutup pintu kamar, Arsel mulai melangkahkan kaki mengelilingi rumah mencari bidadari cantiknya. Tampak Arisha yang mengenakan dress hitam, punggung halus tanpa adanya rambut milik Arisha kian menganga. Arsel yang tak sempat membasuh muka kumalnya pergi menghampiri istrinya. Meletakkan kedua tangan ke pinggul Arisha. "Hisss, apa sih mas" ucap Arisha dengan lembut. Irama kaki mereka ke kanan dan ke kiri seolah ikut menari di tengah kepulan asap dari panci berisi wortel, kentang, ayam yang hendak diolah menjadi sup untuk sajian pagi yang ceria.

Kringggg! Kringg! Kringgg! Suara ponsel Arsel.

Kemesraan mereka seolah usai, Arsel bergegas pergi menghampiri ponselnya. "Siap Ndan." Sahut Arsel. Tanpa berucap kata sedikit pun Arsel langsung pergi membersihkan badan. Tak lupa ia berpesan "Sha tolong masukkan baju mas untuk sebulan ke koper." Teriak Arsel. Arisha yang terkejut menghampiri Arsel dengan penuh tanya, bidadari cantiknya itu mengoceh tiada henti, tetapi Arsel tak menggubris satu pun bunyi dari istrinya.

"Udah shaa?" tanya Arsel sambil memasukkan lengan kemeja ke tangannya.

Arisha melangkah menghampiri untuk membantu Arsel mengancingkan baju, "Mas, nanti malem gimana?" tanya Arisha dengan nada takut.

Arsel yang telah selesai , mendorong pelan mengarahkan istrinya untuk duduk di kasur. Kedua tangan Arsel memegang pundak Arisha, seolah memberikan isyarat kali ini agar istrinya bisa mengerti. Mereka saling bertatapan dengan waktu yang lama. Arisha yang biasanya cerewet hanya terdiam seribu bahasa. Air menetes deras mengalir di kedua pipi chubbynya. Arsel yang paham akan keadaan istrinya, mulai menghapus air mata Arisha. Batin Arsel tak tega, ia sadar bahwa selama ini selalu mengecewakan istrinya. Jangankan berpamitan, untuk melontarkan sepatah kata saja ia tidak enak hati kepada Arisha.

"Emmm.. Pak Brian" belum selesai Arsel berbicara Arisha menyaut, "iyaa mas, tiati yaa" sambil meraih dan mencium punggung tangan suaminya.


Perasaan campur aduk menguasai diri Arisha, tetapi ia selalu kalah dengan kata hatinya. Arisha beranggapan bahwa dalam sebuah hubungan haruslah ada pengertian. Hal penting dari sebuah hubungan bukanlah perihal komunikasi, tetapi adanya pemahaman antar kedua belah pihak. Memutuskan untuk menikah dengan Arsel, sama saja siap untuk menanggung konsekuensi dari pekerjaannya. Sebelumnya mereka telah membicarakan hal ini pada fase pra menikah, saat itu Arisha fine-fine saja menerima. Tanpa ia sadari bahwa quotes yang muncul di beranda aplikasi ponselnya merujuk ke suatu hal yang benar, Bukan jarak yang menjadikan ragu, tetapi kebiasaan yang mulai hilang lah yang memunculkan keraguan.

 

Arsel menutup pintu mobilnya dan menginjak gas dengan kencang. Tujuan dari kepergian Arsel kali ini tak diketahui Arisha, ia juga tidak mau tau. Jika berkenaan dengan atasannya Pak Brian pasti perihal pekerjaan pikirnya.

Semalaman pipi Arisha diguyur hujan tak henti-hentinya. Pesan dari hotel tempatnya menyewa tempat seakan menambah getir hatinya.

Sudah dua hari semenjak dinas, Arsel belum mengirim pesan sekalipun kepada Arisha. Entah menanyakan kabar, atau meminta maaf juga tidak Arisha terima. Ia juga enggan menghubungi Arsel suami tercintanya terlebih dahulu. Arisha hanya berharap hubungannya dapat baik-baik saja ke depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun