Mohon tunggu...
Anis Endang Sunarsih
Anis Endang Sunarsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mengabadikanmu melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paham

20 Juni 2024   00:17 Diperbarui: 20 Juni 2024   00:23 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Akhirnya ketemu."

Itikad kecil terbesit di pikiran Arisha. Semacam agenda malam pertama untuk kedua kalinya. Arisha memesan ruangan disalah satu hotel untuk merayakan hari jadi pernikahannya. Ruangan kecil dengan bunga di lantai membentuk nama mereka. Kain putih bersih membentang di atas meja bundar dengan berbagai piranti yang melengkapi. "Dinner istimewa Tn. Arsel dan Ny. Arisha" gumam Arisha sambil sedikit menahan tawa.

Setiap malam sebelum tidur, Arsel dan Arisha selalu terbaring diam menatap langit-langit putih dengan lampu kuning redup, menambah kesunyian malam gerimis selepas senja yang tiada hentinya. Arisha yang mulai berbalik arah diikuti Arsel dengan tangan mengusap rambut istrinya.

"Sha, kita udah lama menikah.." belum Arsel menyelesaikan perkataannya, sudah disahut dengan sinis oleh Arisha.

"Aku tau mas! Harusnya kamu juga paham kalo aku takut ngelakuin itu sendiri, aku takut mas aku ga mampu"

"Aku kan dinas juga ada pulangnya, aku pergi juga buat kerja sha, buat kamu. Apa to yang ganggu kamu selama ini?"

"Aku percaya mas kamu kerja ya kerja. Aku cuma gamau kamu melewatkan masa tumbuh kembang anak kita nanti, itu aja." Sambil menahan tangis Arisha memalingkan badanya membelakangi Arsel.

Tangan Arisha meraih kalender di meja, melempar dengan pelan ke arah Arsel tanpa menatap ataupun melirik suaminya.

"Itu yang dilingkari, kalo mas inget. Lusa aku mau kamu temani aku. Kalo memang kamu ingin hal itu, aku harap kamu bisa luangin waktu." Arisha mulai memejamkan mata dengan air mata yang menetes di kain bantal berwarna biru tua.

Menutup pintu kamar, Arsel mulai melangkahkan kaki mengelilingi rumah mencari bidadari cantiknya. Tampak Arisha yang mengenakan dress hitam, punggung halus tanpa adanya rambut milik Arisha kian menganga. Arsel yang tak sempat membasuh muka kumalnya pergi menghampiri istrinya. Meletakkan kedua tangan ke pinggul Arisha. "Hisss, apa sih mas" ucap Arisha dengan lembut. Irama kaki mereka ke kanan dan ke kiri seolah ikut menari di tengah kepulan asap dari panci berisi wortel, kentang, ayam yang hendak diolah menjadi sup untuk sajian pagi yang ceria.

Kringggg! Kringg! Kringgg! Suara ponsel Arsel.

Kemesraan mereka seolah usai, Arsel bergegas pergi menghampiri ponselnya. "Siap Ndan." Sahut Arsel. Tanpa berucap kata sedikit pun Arsel langsung pergi membersihkan badan. Tak lupa ia berpesan "Sha tolong masukkan baju mas untuk sebulan ke koper." Teriak Arsel. Arisha yang terkejut menghampiri Arsel dengan penuh tanya, bidadari cantiknya itu mengoceh tiada henti, tetapi Arsel tak menggubris satu pun bunyi dari istrinya.

"Udah shaa?" tanya Arsel sambil memasukkan lengan kemeja ke tangannya.

Arisha melangkah menghampiri untuk membantu Arsel mengancingkan baju, "Mas, nanti malem gimana?" tanya Arisha dengan nada takut.

Arsel yang telah selesai , mendorong pelan mengarahkan istrinya untuk duduk di kasur. Kedua tangan Arsel memegang pundak Arisha, seolah memberikan isyarat kali ini agar istrinya bisa mengerti. Mereka saling bertatapan dengan waktu yang lama. Arisha yang biasanya cerewet hanya terdiam seribu bahasa. Air menetes deras mengalir di kedua pipi chubbynya. Arsel yang paham akan keadaan istrinya, mulai menghapus air mata Arisha. Batin Arsel tak tega, ia sadar bahwa selama ini selalu mengecewakan istrinya. Jangankan berpamitan, untuk melontarkan sepatah kata saja ia tidak enak hati kepada Arisha.

"Emmm.. Pak Brian" belum selesai Arsel berbicara Arisha menyaut, "iyaa mas, tiati yaa" sambil meraih dan mencium punggung tangan suaminya.


Perasaan campur aduk menguasai diri Arisha, tetapi ia selalu kalah dengan kata hatinya. Arisha beranggapan bahwa dalam sebuah hubungan haruslah ada pengertian. Hal penting dari sebuah hubungan bukanlah perihal komunikasi, tetapi adanya pemahaman antar kedua belah pihak. Memutuskan untuk menikah dengan Arsel, sama saja siap untuk menanggung konsekuensi dari pekerjaannya. Sebelumnya mereka telah membicarakan hal ini pada fase pra menikah, saat itu Arisha fine-fine saja menerima. Tanpa ia sadari bahwa quotes yang muncul di beranda aplikasi ponselnya merujuk ke suatu hal yang benar, Bukan jarak yang menjadikan ragu, tetapi kebiasaan yang mulai hilang lah yang memunculkan keraguan.

 

Arsel menutup pintu mobilnya dan menginjak gas dengan kencang. Tujuan dari kepergian Arsel kali ini tak diketahui Arisha, ia juga tidak mau tau. Jika berkenaan dengan atasannya Pak Brian pasti perihal pekerjaan pikirnya.

Semalaman pipi Arisha diguyur hujan tak henti-hentinya. Pesan dari hotel tempatnya menyewa tempat seakan menambah getir hatinya.

Sudah dua hari semenjak dinas, Arsel belum mengirim pesan sekalipun kepada Arisha. Entah menanyakan kabar, atau meminta maaf juga tidak Arisha terima. Ia juga enggan menghubungi Arsel suami tercintanya terlebih dahulu. Arisha hanya berharap hubungannya dapat baik-baik saja ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun