Mohon tunggu...
Anis Zakiyah Fitri
Anis Zakiyah Fitri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Masih belajar ☺️

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konghucu (Klenteng) di Indonesia

26 Maret 2022   18:44 Diperbarui: 26 Maret 2022   18:49 1487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat di Indonesia terutama di pulau Jawa mengenal tempat ibadah Konghucu sebagai Klenteng atau Kelenteng. Sementara di Sumatra yang menggunakan bahasa Medan, kebanyakan masyarakatnya menyebut klenteng dengan Pekong. Klenteng atau kelenteng adalah istilah umum bagi bangunan yang bernuansa arsitektur Tionghoa yang digunakan sebagai sarana tempat bersembahyang atau ibadah oleh penganut kepercayaan tradisional Tionghoa atau Tionghoa perantauan (umat Konghucu, Tao, Budha). Sehingga kadang-kadang kita sulit membedakan apakah mereka itu penganut agama Buddha, Konghucu, atau Tao. 

Klenteng mempunyai banyak jenis diantaranya: 

* Klenteng Miao, tempat ibadah khusus untuk memberi penghormatan kepada leluhur. 

* Klenteng Ci, secara khusus sebagai tempat untuk menyimpan abu sosok yang sudah meninggal tapi mereka termasuk tokoh-tokoh yang dihormati warga atau rumah perabuan untuk satu marga.

* Klenteng Li Tang, ialah klenteng yang secara khusus sebagai tempat penghormatan terhadap apapun, dapat digunakan masyarakat secara umum.

* Klenteng Gong, yang berarti Istana, klenteng untuk raja-raja. 

* Klenteng Guan, yang berarti tempat mengobservasi langit.

* Klenteng Dong, yang berarti tempat tinggal para pertapa.

* Klenteng Dian, yang berarti ruang aula statusnya lebih rendah dari Gong, digunakan untuk umum.

Ciri khas dari Kelenteng sendiri pada umumnya adalah adanya sepasang naga langit yang menghadap mutiara api, naga melambangkan kebenaran, keberuntungan, kebaikan, kekuatan, keperkasaan, dan kemakmuran. Menurut cerita rakyat Tiongkok, naga adalah leluhur manusia. Karena itulah naga dianggap sangat penting. Simbol naga ini ada di mana-mana, seperti di bagian luar bangunan, perlengkapan rumah tangga, dan pakaian. Ciri khas lain yang ada pada klenteng adalah bangunan yang didominasi dengan cat warna merah dan kuning emas yang juga memiliki makna tersendiri. Dimana warna merah merupakan simbol kehidupan, kebahagiaan, keberanian, dan keberuntungan sehingga mendatangkan rezeki dan kebahagiaan. Sedangkan warna kuning emas merupakan simbol keagungan dan keharmonisan serta altar para dewa-dewi sehingga mengantarkan pada kesetiaan, kesungguhan, dan kesucian. Makanya tidak heran jika masyarakat Tionghoa cenderung menggunakan warna merah dan kuning emas ketika hari besarnya, seperti ketika Imlek sangat banyak benda-benda di sekitar tempat perayaan yang berwarna merah dan kuning emas. Demikian pula dengan umat Islam yang ketika hari raya banyak yang menggunakan pakaian berwarna putih. 

Di dalam Kelenteng biasanya terdapat berbagai macam rupang/patung dewa-dewi, di antaranya rupang aliran Buddha Mahayana, rupang aliran Taois, rupang aliran Konfusianis. Seperti klenteng Eng An Kiong yang saya dan teman-teman kunjungi, di sana kami bertemu dengan bapak Rudi Phan yang sangat ramah, beliau menjadi pemimpin di klenteng ini. Beliau mengajak kami menyusuri setiap ruangan di dalamnya. Di dalam klenteng ini terdapat banyak patung. Seperti patung dewa Cai Shen Me yang merupakan dewa yang menguasai kekayaan, harta, atau rezeki dalam mitologi Tiongkok. Dewa Cai Shen Me dianggap penting dalam kehidupan umat Tionghoa. Jadi jika ada umat Tionghoa yang sedang kesusahan dalam hal ekonomi, maka ia akan mendatangi dewa Cai Shen Me untuk meminta kemudahan dalam mencari rezeki. Lalu ada juga patung dewa Hung Guang Cek Cuen Wan yang merupakan dewa pelindung masyarakat yang melindungi dari musibah. Selain patung dewa-dewi juga ada patung kura-kura yang merupakan simbol panjang umur. Dan masih banyak patung-patung yang lain. Yang kesemuanya berjumlah 99 rupang/patung dewa-dewi yang tersebar di setiap ruangan. 

Pak Rudi juga menjelaskan bahwa Umat Khonghucu biasanya melakukan ibadah di klenteng setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Namun ada pula yang melaksanakannya pada hari Minggu dan hari lain, hal ini disesuaikan dengan kondisi dan keadaan umat. Adapun kegiatan di klenteng yaitu sembahyang pada thian yang merupakan sebutan Tuhan dalam agama Konghucu yang memiliki arti Satu Yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Esa. Dalam kitab suci agama Konghucu Shishu Wujing (kitab yang lima) ada beberapa istilah atau sebutan Tuhan diantaranya Huang Tian, Min Tian, dan Shang. Jadi meskipun di klenteng banyak sekali patung akan tetapi umat agama Konghucu tidak menyembah patung-patung tersebut. Karena patung-patung tersebut hanya sebagai bentuk rasa syukur (terima kasih) untuk para dewa-dewa yang telah memberikan kontribusi yang sangat besar dan teladan yang baik bagi umat Konghucu. Dewa-dewa di agama Konghucu ini adalah istilah untuk nabi dan leluhur yang disembahyangi dan dihormati. Kegiatan lainnya adalah kebaktian pada nabi konghucu, sembayang bagi leluhur dan perayaan hari besar keagamaan seperti tahun baru Imlek, Cap Go Meh, Twan Yang, dan hari Tangcik. 

Cara sembahyang umat Konghucu pastinya juga ada aturannya. Umumnya, kegiatan sembahyang menggunakan 1 atau 3 batang hio (dupa), karena jumlahnya melambangkan makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, hio tidak boleh asal dibakar. Setelah dibakar lalu dimatikan dengan cara dikibaskan karena tidak boleh ditiup. Kemudian melafalkan doa dan menancapkan hio tersebut di tempatnya yang bernama hiolo. 

Setelah puas menikmati pemandangan di setiap ruangan klenteng kami pun izin pamit dan mengucapkan terima kasih pada pak Rudi yang telah meluangkan waktunya dan memberikan penjelasan dengan detail tentang banyak hal dari agama beliau dan klenteng Eng An Kiong. 

Dengan mengunjungi klenteng kita bisa belajar tentang bagaimana hidup rukun dan damai. Meskipun berasal dari agama, ras, bahasa, suku, budaya, dan latar belakang yang berbeda. Klenteng mengajarkan kita sikap toleransi. Menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda dengan kita. Jika kita tidak suka diejek, dikecilkan, dan dihina, maka janganlah kita mengejek dan menghina orang lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun