Mohon tunggu...
Ani Rostiani Sukandi
Ani Rostiani Sukandi Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga dengan 2 anak. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, maka berubah setiap hari untuk menjadi lebih baik, itulah prosesku!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Pengembara (Sebuah Cerpen)

13 November 2010   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:39 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiba-tiba saja sinar itu datang menghampiri, lantas berdenyar
dan slap! Mataku jadi nanap. Dimana ini ? Sebuah tempat yang sepertinya
pernah kukenal tapi dimana dan kapan aku pernah singgah disini, aku tak
ingat. Sepuluh tahun lalu atau mungkin lebih dari itu hingga aku tak
mampu mengingatnya. Yang pasti aku pernah mendatangi tempat ini. Aku
yakin sekali !

Dari kejauhan kulihat seorang lelaki muda
tampan dan tampak penuh wibawa berjalan membawa sebuah buku. Tampaknya
ia seorang yang berilmu. Terlalu muda bila dilihat dari raut wajahnya
yang nampak arif bijaksana. Bercahaya bagai bulan. Sedang disini tak ada
siapa-siapaselain aku.

Bagaimana aku tiba-tiba berada disini?
Jangan kau tanya, sebab akupun tak mampu menjawabnya.

Kemarin aku marah pada anak-anakku yang bisanya cuma menyuruh
dan melarang. Tak peduli apa yang menjadi keinginanku, bapaknya. Bahkan
kemarin Si Rahmat membujukku agar mau tinggal di rumahnya saja. Bah !
Dia pikir aku tak bisa mengurus diriku lagi. Siapa yang mengurus mereka
dulu?

Aku pergi mengayuh sepeda ke Bukit Parang,
tempat biasa aku mengurus huma dan kebun warisan leluhur. Disini akulah
raja, perkasa dan penguasa. Tak ada yang bisa menghentikan kepiawaian
berkebunku. Dari sini mereka dapat sekolah dan menjadi amtenar seperti
sekarang. Sedikitpun tak ada yang dapat membuatnya lepas dari tanganku.
Ini tanah leluhur! Tak akan pernah sejengkalpun kubiarkan mereka
menjualnya. Tak akan pernah! Sepanjang aku masih menghirup harum
bunganya, mencium aroma tanahnya, memandang hijau daunnya, dan melihat
geliat cacingnya. Tak akan pernah sejengkalpun aku meninggalkannya,
walau apapun yang terjadi. Disini aku hidup disini pula aku akan mati!

Lihat, pancang batas huma dengan tanah milik
Pak Royan masih tegak jumawa. Padahal pancang itu kutanam sejak
mendiang istriku masih segar. Sedang pemilik tanah itu, Pak Royan, sudah
seminggu ngungsi ke rumah anaknya di kota kecamatan. Dari sana dapat kulihat hamparan lembah
melandai hingga ke batas desa. Sedang disisi kirinya menjulang Gunung
Gumarang yang sesekali masih mengepulkan asap. Kata orang, Gumarang
sedang saheng, sewaktu-waktu dapat muntab dan memuntahkan lahar. Kabar
itu telah kudengar sejak istriku masih hidup. Artinya sudah hampir
sebelas tahun ! Nyatanya hingga kini ia masih adem-adem saja. Yaaa,
kepulan asap itu kuanggap Gumarang tengah ngisap rokok linting, seperti
yang biasa kulinting dari daun tembakau dan kertas pahpir.

Gumarang adalah sahabat tempat berbagi

cerita. Sebab tak ada lagi teman selain dia dan Pak Royan. Ia saksi tetes keringat dan keperkasaanku.Kupandangi lagi tubuh julangnya. Ia masih merokok.
Kepulan asap itu membubung hingga ke langit. Kupandangi,
kutunggu dimana ekornya. Semenit, dua menit hingga sepuluh menit, ekor
asap itu tak juga tampak. Kukejar ujungnya hingga Selatan, tak ada.
Kutunggu lagi, yang kulihat asap semakin hitam. Dari kejauhan tampak
lautan manusia menyemut memburu truk-truk marinir. Ada yang naik ojeg, mengayuh sepeda,
berlarian dan pemandangansimulasi bencana.

Aku bosan dengan segala macam himbauan, simulasi, siaga
–siagaan, waspada-waspadaan. Capek. Apalagi bagi aku yang sudah uzur
begini. Kalau mau mati, mati saja. Dimana dan kapanpun tak akan bisa
ditahan atau ditunda, sudah ada tulisannya di Lauhul Mahfudz.

Tiba-tiba ledakan dahsyat memekakkan
telinga. Langit yang tadi kulihat hitam seketika membuncah merah,
kuning, putih dan cahaya yang membutakan. Aku terbang dan mengangkasa.
Melayang, bagai ditarik ribuan belibis.

Aku terkesima memandang Gumarang dalam
selimut bara. Bebatuan itu silih berganti menuruni lembah melewati Bukit
Parang, berkejaran menemui sungai-sungai di bawahnya, menerjuni rumah
dan ternak.

Rumah itu !Tempat
anak-anakku lahir dan tumbuh. Ia dihanyutkan oleh waktu, seperti
anak-anak menghanyutkan aku dalam alam pikir dan keinginan mereka. Tak
ada kompromi, seperti anak-anak memperlakukan aku.

Kini dimana mereka? Pasti tidak ada diantara
ribuan manusia yang berpencaran tak tentu arah itu. Bagai semut yang
terpotong jalannya, manusia itu meruyak diantara batu dan lumpur.
Lagipula aku tak peduli dimana mereka. Aku hanya ingin menjauh. Menjauh
dari hidup mereka yang kian tak terkejar. Menjauh dari keinginan,
menjauh dari keengganan. Pokoknya aku ingin pergi.


Lalu tibalah aku disini. Di tanah silau tak berpenghuni selain
sesosok wajah tampan itu. Kupanggil, suaraku tercekat di kerongkongan.
Tak ada yang berbunyi. Hanya sunyi.

Lelaki
itu tidak tersenyum. Wajahnya diam tanpa ekspresi. Tiba-tiba dari
belakangnya kulihat samar-samar sesosok wanita berkerudung. Kupandangi
tak berkedip. Kukenal siluetnya. Istriku!

Tergesa,
tak sabar kuberlari. Tapi kakiku tertanam dalam tanah. Kupanggil, tak
ada yang berbunyi, hanya sunyi. Suaraku tertelan cahaya nanap ini.
Dimana aku ? Rasanya pernah aku disini. Tapi mengapa tak ada yang
kumengerti.

Tiba-tiba di belakang istriku puluhan atau
mungkin ratusan orang berbaris dan memandangi wajahku dengan pandangan
dingin dan aneh. Lelaki itu masih di depan, memandangiku pula. Sungguh,
aku tak mampu berbuat !

Lelaki itu menyentuhku.
Dingin. Kupandangi wajahnya. Aku tak mengenalnya, hanya cahaya bagai
bulan. Sentuhan itu anehnya mengabariku sesuatu : “Kembalilah!” Seolah
aku memahami bahasa mereka, secara tiba-tiba.

Tiba-tiba saja sinar itu datang lagi
menghampiri, lantas berdenyar dan slap! Mataku jadi nanap. Dimana ini ?
Kakiku terbenam di lumpur hitam, diantara bebatuan dan timbunan pasir
atau apalah itu namanya. Yang pasti disini masih Bukit Parang bila
dilihat dari masih adanya Gumarang di sisi kiri. Tapi bukan Bukit Parang
yang sama dengan kemarin. Ia seperti baru dilahirkan kembali dalam
bentuk yang sama sekali berbeda. Hitam kelabu dan bau.

Kuturuni bukit. Kutapaki bebatuan yang
menjulang disana-sini. Tiba di lembah, tak seorangpun yang kujumpa aku
kenali. Aku tiba di negeri asing!

Ki Gumarang yang hidup dari kematian,
julukanku. Seratus lima
tahun usiaku. Siapa temanku? Tak ada. Aku hidup bersama serpihan
peristiwa lampau yang berdenyar tanpa henti. Kapan waktuku bertemu lagi
dengan lelaki cahaya itu? Dan pergi bersamanya….??

19.19 wib di 10 Pebruari 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun