Mohon tunggu...
Ani Rostiani Sukandi
Ani Rostiani Sukandi Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga dengan 2 anak. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, maka berubah setiap hari untuk menjadi lebih baik, itulah prosesku!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Pengembara (Sebuah Cerpen)

13 November 2010   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:39 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kini dimana mereka? Pasti tidak ada diantara
ribuan manusia yang berpencaran tak tentu arah itu. Bagai semut yang
terpotong jalannya, manusia itu meruyak diantara batu dan lumpur.
Lagipula aku tak peduli dimana mereka. Aku hanya ingin menjauh. Menjauh
dari hidup mereka yang kian tak terkejar. Menjauh dari keinginan,
menjauh dari keengganan. Pokoknya aku ingin pergi.


Lalu tibalah aku disini. Di tanah silau tak berpenghuni selain
sesosok wajah tampan itu. Kupanggil, suaraku tercekat di kerongkongan.
Tak ada yang berbunyi. Hanya sunyi.

Lelaki
itu tidak tersenyum. Wajahnya diam tanpa ekspresi. Tiba-tiba dari
belakangnya kulihat samar-samar sesosok wanita berkerudung. Kupandangi
tak berkedip. Kukenal siluetnya. Istriku!

Tergesa,
tak sabar kuberlari. Tapi kakiku tertanam dalam tanah. Kupanggil, tak
ada yang berbunyi, hanya sunyi. Suaraku tertelan cahaya nanap ini.
Dimana aku ? Rasanya pernah aku disini. Tapi mengapa tak ada yang
kumengerti.

Tiba-tiba di belakang istriku puluhan atau
mungkin ratusan orang berbaris dan memandangi wajahku dengan pandangan
dingin dan aneh. Lelaki itu masih di depan, memandangiku pula. Sungguh,
aku tak mampu berbuat !

Lelaki itu menyentuhku.
Dingin. Kupandangi wajahnya. Aku tak mengenalnya, hanya cahaya bagai
bulan. Sentuhan itu anehnya mengabariku sesuatu : “Kembalilah!” Seolah
aku memahami bahasa mereka, secara tiba-tiba.

Tiba-tiba saja sinar itu datang lagi
menghampiri, lantas berdenyar dan slap! Mataku jadi nanap. Dimana ini ?
Kakiku terbenam di lumpur hitam, diantara bebatuan dan timbunan pasir
atau apalah itu namanya. Yang pasti disini masih Bukit Parang bila
dilihat dari masih adanya Gumarang di sisi kiri. Tapi bukan Bukit Parang
yang sama dengan kemarin. Ia seperti baru dilahirkan kembali dalam
bentuk yang sama sekali berbeda. Hitam kelabu dan bau.

Kuturuni bukit. Kutapaki bebatuan yang
menjulang disana-sini. Tiba di lembah, tak seorangpun yang kujumpa aku
kenali. Aku tiba di negeri asing!

Ki Gumarang yang hidup dari kematian,
julukanku. Seratus lima
tahun usiaku. Siapa temanku? Tak ada. Aku hidup bersama serpihan
peristiwa lampau yang berdenyar tanpa henti. Kapan waktuku bertemu lagi
dengan lelaki cahaya itu? Dan pergi bersamanya….??

19.19 wib di 10 Pebruari 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun