Menurut saya, menyetarakan pertumbuhan ekonomi sebagai progress pembangunan sebuah Negara sudah tidak lagi relevan. Jika memang pertumbuhan ekonomi adalah sebuah ukuran kemakmuran dan kesejahteraan, nyatanya isu kemiskinan masih mejadi diskursus tanpa henti. Â Aksi yang dengan terang memperlihatkan kesenjangan kelas di masyarakat masih sering kita lihat.Â
Ambil saja contoh aksi petani kendeng melawan pabrik semen atau unjuk rasa yang terjadi dalam skala besar untuk menentang RUU Cipta Kerja. Benang merah dari kedua aksi itu sama, perjuangan rakyat kecil di hadapan korporasi-korporasi besar yang memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Saya kira kita sama-sama tahu, siapa yang menang dan siapa yang kalah pada akhirnya; RUU Cipta Kerja tetap disahkan meski akhirnya dinyatakan inkonstitusional dan pabrik semen tetap beroperasi meski sudah kalah di pengadilan maupun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Sudah lama saya berpikir bahwa mungkin kita memang hidup di dalam sistem masyarakat yang jauh dari kata ideal. Rostow, seorang ekonom amerika, memperkenalkan pemikirannya tentang konsep masyarakat kapitalis sebagai syarat sebuah negara untuk maju, melalui peningkatan investasi dan modernisasi. Ia berpendapat bahwa kemajuan ekonomi akan selaras dengan kesejahteraan secara umum. Setelah lebih dari 50 tahun sejak ia mengemukakan konsep masyarakat kapitalisnya tersebut, memang banyak Negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik - termasuk Indonesia, tetapi apakah selaras dengan peningkatan kesejahteraan? Mungkin iya, bagi beberapa kelompok tertentu.
Salah satu nilai dasar dari kapitalisme adalah kepemilikan faktor produksi. Konsep ini pada akhirnya membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial, yang dalam pendekatan Marxist, terdiri dari kaum kapitalis dan kaum pekerja. Salah satu konsep yang mendasari pendekatan marxist adalah eksploitasi terhadap kaum pekerja oleh kaum kapitalis untuk mendapatkan keuntungan dari produktivitas kaum pekerja.Â
Dengan konsep dasar kapitalisme, kekayaan yang dihasilkan dari setiap produksi yang terjadi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan mengalir secara tidak proporsional kepada kaum kapitalis dan kaum pekerja. Kaum kapitalis akan mendapatkan kekayaan sesuai persentase kepimilikannya, yang tentu saja akan meningkat seiiring dengan meningkatnya keuntungan dari produksi. Sedangkan, kaum pekerja menghasilkan pendapatan pada tingkat gaji yang sudah ditetapkan.Â
Inilah alasan mengapa pertumbuhan ekonomi tidak seharusnya dijadikan tolak ukur pembangunan, sebab pertumbuhan ekonomi hanya memperlihatkan total kekayaan yang dihasilkan tanpa memperhatikan bagaiamana kekayaan itu didistribusikan. Oleh karenanya, bukan hal yang aneh jika data memperlihatkan 60% kekayaan Nasional dimiliki oleh 10% orang terkaya, sedangkan 50% penduduk Indonesia memiliki hanya 5% dari kekayaan Nasional (sumber: Katadata). Kapitalisme adalah konsep yang sejak awal tidak setara dan kita telah lama hidup dalam sistem tersebut.Â
Di masa orde baru, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia di masa itu tidak kurang dari 7% per tahunnya. Pendapatan per kapita Indonesia pun tercatat meningkat 10 kali lipat hingg akhir 1990. Tetapi, sayanganya transformasi ekonomi yang gemilang ini hanya terpusat di pulau Jawa. Lalu, bagaimana dengan wilayah lain?Â
Kita ambil contoh Papua. Kekayaan Papua sudah dikeruk habis dan didagangkan dengan bebas, tetapi tidak ada perbaikan kesejahteraan yang terlihat. Sebab, kekayaan emas Papua terlanjur digadaikan melalui kebijakan ekonomi liberal dengan dalih pembangunan, sehingga kekayaan tersebut tidak lagi dimiliki oleh masyarakat Papua. Lalu, kemana keuntungan dari kekayaan tersebut? Sudah pasti mengalir kepada kaum kapitalis yang, atas izin pemerintah Indonesia, memiliki penambangan emas tersebut. Pada akhirnya, era gemilang perekonomian Indonesia ini hanya mewarisi permasalahan yang sangat krusial bagi pembangunan Indonesia selanjutnya, yaitu kesenjangan wilayah yang begitu tinggi.
"Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah," (World Inequality Report 2022, dikutip dari Katadata)
Lalu, pertanyaannya, apa itu pembangunan? Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan konsep yang diperkenalkan oleh Amartya Sen, ekonom dari India.
Di akhir 1990, Sen memperkenalkan sebuah konsep pembangunan sebagai "kebebasan". Jika dielaborasikan, ia mengemukakan bahwa pembangunan seharusnya mengarah pada peningkatan kapabilitas Individu, sehingga ia memiliki kebebasan untuk menjalani kehidupan sesuai yang ia inginkan. Terdengar idealis dan abstrak.Â
Tetapi, berbagai macam perhitungan dan indikator kemajuan yang selaras dengan konsep ini mulai bermunculan. Salah satu contohnya adalah Human Development Index yang diinisiasi oleh UN. Indeks ini menilai pembangunan suatu negara melalui pendidikan, kesehatan dan pendapatan per kapita. Indeks lain yang cukup baru dikenalkan adalah Social Progress Index yang diinisiasi oleh Michael Green di tahun 2014. Indeks ini jauh lebih komprehensif, mencakup berbagai macam indikator termsuk sustainable environment, serta kebebasan dari diskriminasi. Indeks-indeks yang bermunculan ini mengisyaratkan pergeseran dalam fokus pembangunan global yang tak lagi berfokus pada ekonomi, tetapi pada pembangunan mayarakatnya, termasuk alam dan lingkungannya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang masuk ke dalam G20, 20 negara ekonomi terbesar. Tetapi, hasil dari penilaian PISA 2018 (asesmen literasi siswa), Indonesia masih jauh dibawah rata-rata 80 negara OECD, bahkan menurun dari tahun 2015. Indonesia berada di bawah Malaysia, Singapura dan Thailand dan butuh waktu 60 tahun untuk sampai pada nilai rata-rata OECD (sumber: RISE Programme). Sebuah bukti lain bahwa kekayaan tak selalu selaras dengan pembangunan.Â
Tapi, saya pribadi tidak pesimis dengan Indonesia. Saya percaya Indonesia sedang berjalan di jalan yang tepat. Salah satunya dengan masifnya pembangunan infrastruktur di luar pulau Jawa, salah satu program utama era Jokowi. Infrastruktur adalah kunci konektivitas dan aksesibilitas antar wilayah sehingga diharapkan pemerataan dapat terjadi dengan mudah.Â
Selain itu, perombakan pendidikan besar-besaran yang dilakukan oleh Mas Menteri Nadiem, menurut saya, membawa harapan tersendiri. Salah satunya adalah dengan pergantian sistem Ujian Nasional menjadi Assesmen Nasional sebagai evaluasi yang selaras dengan PISA.Â
Tetapi, tentu masih banyak hal yang perlu dikritisi. Salah satunya adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara, dimana pemerintah begitu gencar mencari pendanaan dari investor. Bahkan Hak Guna Bangunan (HGB) akan diberikan selama 80 hingga 160 tahun untuk investor melampaui UU Agraria yang memandatkan pemberian HGB selam 30 tahun yang dapat diperpanjang 20 tahun (Sumber: Tempo). Â Di tahun 2022 pun Kontras sudah memberikan catatan akan potensi pelanggaran HAM dalam pemindahan Ibu Kota, baik dalam proses ataupun implementasinya. Oleh karenanya, proses pembangunan IKN sangat butuh untuk dikawal apakah akan kembali mewariskan ketimpangan dan konflik sosial bagi masyarakat sekitar di kemudian hari atau tidak.
Membangun sebuah Negara memang tidak mudah. Karena ini bukan hanya tentang memperbaiki angka-angka statistik, tetapi lebih dari itu, adalah tentang membangun manusia di dalamnya, dengan berbagai macam ekspektasi, aspirasi dan karakternya. Tetapi saya berharap, Negara tidak menyerah pada kepentingan masyarakatnya dihadapan pembesar-pembesar kapitalis dengan dalih pembangunan. Meski, tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi tentu memiliki peran dalam memajukan pembangunan, tetapi itu bukanlah tujuan.Â
Amartya Sen pun dalam konsep pembangunannya tidak menegasikan peran pertumbuhan ekonomi. Tetapi, ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk pembangunan yang lebih baik dan besar. Oleh karenanya, dalam setiap pembangunan yang dilakukan, sangat penting untuk mempertanyakan tujuan dari pembangunan tersebut, apakah semata-mata untuk pertumbuhan ekonomi ataukah benar-benar untuk membangun individu di dalamnya. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menghasilkan pendekatan pembangunan yang sangat berbeda.
Pertumbuhan ekonomi bukan sesuatu yang jahat. Tetapi, dalam setiap upaya kita dalam meningkatkan kekayaan, sepertinya kita perlu berangkat dari apa yang disampaikan oleh Amartya Sen:
"If we have reason to want more wealth, we have to ask: what precisely are these reasons,... and what are the things we can 'do' with more wealth?"
Oleh karenanya, dalam setiap pembangunan, yang terpenting bukanlah tentang pertumbuhan ekonomi itu sendiri, tapi apa yang kita lakukan agar pertumbuhan ekonomi tersebut menghasilkan kesejahteraan. Sehingga, dalam setiap rupiah yang kita hasilkan, kita perlu untuk berpikir bagaimana me-redistribusikannya agar dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H