Padahal di Indonesia penyelenggaraan magang sudah diatur oleh Undang-Undang.
Menurut Pasal 10 ayat (2) Permenaker 6/2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, perjanjian pemagangan memuat:
a. hak dan kewajiban anak pemagangan;
b. hak dan kewajiban penyelenggara pemagangan;
c. program pemagangan;
d. jangka waktu pemagangan; dan
e. besaran uang saku.
Undang-undang diatas sudah mengatur itu semua dalam UU nya. Kalau pengalaman atau relasi, itu sebatas di poin A atau termasuk di bagian hak. Termasuk juga sertifikat atau surat keterangan magang, itu masih di poin A.
Yuk, lebih teliti!
Sebelum mulai daftar magang, ada baiknya kita lebih teliti dan cari tahu lebih dalam seperti apa perusahaan dan budaya kerja di sana.Â
Jangan sampai kita  merasa seolah "terjebak" ketika sudah masuk. Mau keluar juga tidak bisa, karena sudah ada perjanjian di awal.Â
Jangan juga cepat tergiur dengan prestise sebuah perusahaan. Bisa jadi prestisius perusahaan tersebut tidak sebanding dengan budaya perusahaan dalam memperlakukan anak magang.
Jadi ini semua, bukan serta merta tentang nominal saja, di UU pun tertulis hanya besaran uang saku yang sesuai dengan pekerjaan yang diberikan.
Tapi, ada baiknya sebelum apply magang kita harus ada pertimbangan dan harus tetap logis.Â
Dan untuk tim HR, mungkin bisa tanyakan ke tim internal perusahaan, "butuh anak magang tuh kenapa sih?" Kalau memang ingin memberi pengalaman dunia kerja, dan belum ada budget untuk memberi uang saku, seharusnya perusahaan bisa benar-benar memberi pengalaman dan gambaran dunia kerja professional. Atau sebisa mungkin dihadirkan pembimbing atau mentor untuk mereka yang magang.Â
Jangan sampai ada istilah "udang di balik batu", alias butuh anak magang karena ingin menekan biaya perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H