Mohon tunggu...
Anindya Pradiptasari
Anindya Pradiptasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Freelancer

A lifelong learner. Join me as I dive into the world of art, culture, film, music, fashion, and more.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mulyono jadi Joko Widodo, Ganti Nama untuk Tolak Bala dalam Tradisi Jawa

25 Agustus 2024   01:19 Diperbarui: 27 Agustus 2024   20:34 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Mulyono mendadak menjadi buah bibir masyarakat di media sosial di tengah penolakan RUU Pilkada. Nama ini bahkan berhasil menduduki posisi trending topic di platform X sejak Kamis, (22/8).  Faktanya, nama ini merupakan nama asli Presiden Joko Widodo yang telah diubah semasa kecilnya. Lantas, apa alasan dibalik penggantian nama ini?

Pemberian nama anak merupakan proses yang sarat akan makna. Dalam masyarakat Jawa, ada keyakinan bahwa nama yang diberikan akan memengaruhi takdir kehidupan, termasuk kondisi kesehatan sang buah hati. Oleh karena itu, orang tua sering kali mempertimbangkan berbagai aturan dalam memilih nama, dengan harapan bahwa nama yang tepat akan memberikan nasib baik bagi anak mereka.

Apabila nama yang diberikan tidak cocok dengan sang bayi, maka bayi tersebut bisa bernasib buruk, seperti jatuh sakit secara berkepanjangan. Dalam budaya Jawa, kondisi ini dikenal dengan istilah kabotan jeneng, yang berarti "keberatan nama." Kondisi ini diyakini terjadi karena nama yang diberikan telah membawa beban yang terlalu berat bagi sang bayi, sehingga memengaruhi kesehatannya. 

Jokowi kecil yang bernama asli Mulyono bin Notomiharjo, ternyata mengalami kisah serupa. Ketika dinamai Mulyono, putra sulung pasangan Noto Mihardjo dan Sudjiatmi ini sering mengalami sakit yang tidak jelas penyebabnya. Konon, Jokowi kecil mengalami kondisi kabotan jeneng.

Nama Mulyono sendiri berarti "mulia" atau "memiliki kemuliaan". Mulyono tidak sanggup menanggung namanya sendiri karena dianggap terlalu "berat" dan "agung". 

Adapun Jokowi sendiri sempat bercerita tentang perubahan nama kecilnya. Ia menjelaskan bahwa orang tuanya segera mengganti nama Mulyono yang dianggap tidak cocok dengannya.

"Nama itu tak terlalu lama saya miliki karena orang tua saya segera mencari nama baru ketika saya berulang kali sakit," ungkap Jokowi dalam buku Jokowi Menuju Cahaya karya Alberthiene Endah yang diterbitkan pada 2018. 

Jokowi menganggap bahwa tradisi mengganti nama untuk membuang nasib buruk ini memang lumrah di kalangan masyarakat Jawa. "Boleh tidak percaya, saya kemudian tumbuh sehat. Itu misteri,” imbuhnya. 

Kemudian, nama Mulyono diganti menjadi "Joko Widodo" yang berarti putra yang berpengaruh dan berkuasa.

Bukan sekadar sembarangan mengganti nama, proses ngganteni jeneng atau mengganti nama melibatkan ritual khusus yang harus diikuti. Penggantian nama harus sesuai dari rekomendasi dari orang yang dianggap dituakan dan dilakukan tepat pada hari kelahiran sang anak secara hitungan Jawa. 

Keluarga akan mengadakan slametan untuk meminta perlindungan  dan kesembuhan kepada Tuhan. Pada umumnya, beberapa hidangan disajikan dalam ritual slametan ini, seperti jenang merah putih, nasi bancakan, dan nasi tumpeng. Makanan-makanan ini melambangkan kesucian dan harapan baru bagi penerima nama.

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa masa kini, tradisi ini tidak lagi dianggap relevan, terutama di kalangan generasi muda yang lebih mengedepankan logika dan ilmu pengetahuan. Meskipun masih ada yang meyakini tradisi ini, sebagian besar masyarakat kini cenderung lebih pragmatis dalam pemilihan nama, tanpa terlalu terikat pada kepercayaan bahwa nama bisa mempengaruhi nasib atau kesehatan seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun