Mohon tunggu...
Anindia Aurel
Anindia Aurel Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya memiliki hoby mendengarkan musik karena bisa membuat saya tenang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu dan Takdir

17 April 2024   07:26 Diperbarui: 17 April 2024   07:28 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku berjalan bolak balik sembari menggaruk lenganku yang tak gatal, hari ini adalah hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru tahun 1997.


"Dek, duduk sini di sebelah bapak. Apa tidak capek kamu bolak balik seperti itu?", ucap Bapakku yang mungkin risih dengan tindakan yang aku lakukan. Aku mengangguk lalu duduk di sebelah Bapak.
Aku mengelus pergelangan tangan Bapak, lalu berkata, "Pak, kalau Rindu tidak lolos, izinkan Rindu untuk bekerja ya Pak. Biar Mbak Sekar saja yang kuliah." Bapak tersenyum lalu menepuk pelan punggung tanganku. "Bapak percaya Rindu pasti lolos. Rindu harus kuliah."
Aku menghela napas pelan. Bapak memang tidak bisa ditentang. Sebenarnya aku ragu mengikuti kuliah. Mengingat kondisi Bapak yang sakit dan kami tidak memiliki uang bahkan hanya untuk membayar pengobatan Bapak.
Dulu, Bapakku adalah seorang lurah di desa kami. Beliau menjabat sebagai lurah selama 14 tahun. Semua warga desa menyukai Bapakku. Begitu juga dengan Ibukku, beliau adalah Ibu lurah terbaik di desa kami. Dulu hidup kami penuh dengan kecukupan, hingga semuanya berubah sejak kejadian Bapakku yang ditipu oleh sahabatnya hingga membuat hampir seluruh uang Bapakku hilang.

~~

Aku Rindu, anak ketiga dari empat bersaudara yang baru saja lulus dari SMA. Aku memiliki kakak laki laki yang sering ku panggil Mas Raga. Dia sekarang bekerja di salah satu perusahaan minuman ternama dan menjadi sales. Mas Raga juga bekerja membantu penggiringan padi di desa. Aku juga memiliki kakak perempuan bernama Mbak Sekar. Dia sekarang sedang menjalankan kuliah semester 3 dengan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Dan yang terakhir, Aku memiliki adik bernama Dara. Dia masih duduk di kelas 12 SMA.


"Assalamualaikum Pak, ini ada kiriman koran." Akhirnya yang kami tunggu tunggu tiba.
"Waalaikumussalam, terimakasih ya pak", ucap Bapakku tersenyum lebar. Bapakku memberikan korannya kepadaku. Aku menggeleng, "Bapak saja yang buka" ucapku.
"Baiklah kalau begitu." Bapak membuka korannya dan mencari daftar nama yang lolos SBMPTN.
Setelah membaca daftar itu, Bapak melihatku dengan mata berkaca kaca. Aku mengela napas pelan lalu berusaha untuk tersenyum. "Tidak apa apa, Pak. Mungkin memang bukan jalannya Rindu."
Bapak menggeleng lalu tersenyum. "Nak, namamu ada disini! Anakku diterima di Universitas Negeri!"
Ibu dan Dara yang berada di dapur langsung berlari menuju teras depan rumah. Ibu memelukku erat, beliau menangis bahagia. Tetanggaku yang mendegar bahwa aku lolos pun ikut mengucapkan selamat kepadaku. Suasana sore itu penuh haru.

Empat jam setelah kepergianku dari desa, Aku telah sampai di sebuah rumah dekat kampusku di Solo, tempat itu adalah kosan Mbak Sekar. Dalam satu rumah itu ada empat kamar. Tentunya kamar itu tidak semua dipakai oleh kami. Masing masing kamar sudah ditempati oleh mahasiswi yang sama nasibnya denganku dan Mbak Sekar yaitu merantau. Demi menghemat uang, aku memutuskan untuk satu kamar dengan Mbak Sekar. Untungnya, kamarnya terlihat cukup untuk dua orang, walaupun hanya ada satu kasur kecil di dalamnya.
"Ndu, mbak hari ini menginap di rumah Ayu, ada tugas yang harus kami kerjakan. Kamu tidak usah tunggu Mbak pulang. Kamar depan itu teman kampusku, namanya Angel. Kalau ada apa apa, ketuk saja pintunya. Dia sudah tahu kalau kamu akan tinggal disini." Aku mengangguk lalu mengangkat ibu jariku. "Siap Mbak!"

~~


Hari pertamaku di kampus, meninggalkan kesan lumayan buruk. Bagaimana tidak? Baru pertama kali ospek saja, sudah dimarahi oleh kakak tingkat!
Sebenarnya wajar saja, masa ospek seringkali disebut dengan masa pelatihan mental. Namun yang membuat tidak wajar itu ketika kami tidak salah, tetapi tetap saja dimarahi. Aku duduk dibawah pohon sembari mengipasi diri dengan tanganku sendiri. Hari ini sedikit membuatku kelelahan.
"Nadin, kamu nih aku cari cari dari tadi, eh ternyata disini!", ucap temanku Putri. Putri adalah teman baruku, kita berada di jurusan yang sama, yaitu Pendidikan Teknik Bangunan. Ia juga tinggal di kosan yang sama denganku. "Maaf Put aku benar benar lelah seharian ini dijemur di bawah sinar matahari.", jawabku sambil mengusap keringat di dahiku.
"Namanya juga maba, Ndu. Oh iya, nanti kita pulang bareng saja ya. Aku bawa motor nih." Dengan senang hati aku meng-iyakan tawaran Putri.
Saat aku ingin berdiri, tiba tiba ada tangan yang memegang satu botol minum terulur di depanku. Aku mengernyit heran. Untuk apa kating yang memarahiku tadi kesini? Apa aku ada salah lagi?
"Ah, tadi saya lihat dari jauh kamu seperti ingin pingsan. Ini diminum." Aku tidak membalas ucapan maupun mengambil botol minum itu. Putri yang melihat itu dengan cepat mengambil botol dari tangan kakak itu, "Terima kasih ya kak, saya akan pastikan Rindu meminumnya." Putri menggandengku, lalu kami pergi dari tempat itu.
"Aduh ndu, tadi kenapa tidak dijawab!", omel Putri yang masih menggandengku.
"Aku kaget. Tadi aku kira kakaknya bakal memarahiku lagi.", Putri yang medengar jawabanku langsung menepuk dahinya pelan. "Rindu rinduu."

~~


Empat tahun berlalu, aku tidak menyangka aku masih bisa bertahan melanjutkan kuliah. Beberapa tahun terakhir ini, aku membuka les privat untuk membantu membayar pengobatan Bapak yang sekarang penyakitnya semakin memburuk. Adikku Dara juga sudah masuk kuliah. Kami tinggal berdua di kosan yang sama seperti dulu. Aku masih bisa bertahan karena adanya bantuan beasiswa. Bantuan itu sangat meringankanku dalam membayar uang kuliah.
Satu minggu menjelang sidang skripsi, aku memutuskan pulang ke Semarang untuk bertemu dengan keluargaku. Aku melihat Bapak yang terbaring lemah di kasur rumah sakit. Aku tidak bisa menahan air mataku. Aku duduk disamping beliau lalu memegang tangannya.
"Bapak ingat tidak? Waktu pertama kali pengumuman UMPTN dan aku dinyatakan lolos. Bapak terlihat paling bahagia waktu itu dibandingkan yang lainnya.."
"Rindu sudah turuti permintaan bapak untuk melanjutkan kuliah... Jadi rindu mau bapak juga bisa menjadi yang paling bahagia pada saat Rindu lulus nanti. Rindu percaya bapak bisa sembuh.", Pundakku bergetar, Aku mengusap air mataku. Tiba tiba Ibuku mengelus pundakku, berniat menenangkanku. Aku memeluk Ibuku. Ibuku menahan tangisnya tatkala mendengar tangisanku yang semakin membesar.
---
Hari ini adalah hari penentuan kelulusanku. Aku akan menjalani sidang skripsi. Begitu juga dengan Putri, sahabat seperjuanganku.
Aku mengelus jari jariku, untuk mengurangi kegugupanku. "...Untuk ini kami nyatakan Namira Rindu lulus!" Aku tersenyum sembari menahan air mataku yang akan jatuh. Aku mengucapkan terima kasih kepada penguji dan juga dosen pembimbing yang selama ini sudah banyak membantuku. Setelah keluar dari ruangan, aku memeluk Adikku dan Putri. Aku menangis bahagia di pelukan mereka.
Malamnya, kami berencana untuk mengadakan pesta kecil kecilan untuk merayakan kelulusanku dan Putri. Awalnya Aku berencana untuk pulang ke Semarang setelah sidang dan mengumpulkan naskah skripsi. Namun, Dara memberi usulan sebaiknya kita pulang ke Semarang esok hari. Aku pun setuju.
Malam itu, adalah malam paling bahagia sekaligus melegakan. Rasanya semua bebanku terangkat. Bapak, Ibu, Anakmu sudah jadi sarjana!

Aku mengernyit ketika melihat mobil pamanku yang terparkir di depan kosan. Aku semakin heran ketika yang keluar dari mobil itu adalah Mas Raga. "Assalamualaikum, Ndu", Mas Raga mengucapkan salam sembari melihatku dengan tatapan sedih.
"Waalaikumussalam, ada apa Mas pagi pagi begini sudah datang?."
"Dek...Bapak", Mas Raga memelukku lalu menangis.


Pertama kali Aku menginjakkan kakiku kembali di rumahku setelah bertahun tahun merantau, Aku malah disambut dengan bendera kuning yang diikat ditiang depan rumahku. Banyak orang yang berkumpul di rumahku. Semua orang menangis. Aku masih terdiam, bahkan sampai Ibuku yang menangis histeris sambil memelukku.
Air mataku mulai terjatuh ketika melihat Bapak yang sudah di selimuti dengan kain kafan. Aku terduduk lemas, disamping Bapak.
"Bapak! Bapak! Tidak...", Aku menangis histeris memanggil Bapak. Ibuku hanya bisa memelukku sambil berbisik, "Sabar Nak, Ikhlaskan Nak..."
Tidak, bagaimana aku bisa Ikhlas? Bapak belum mengabulkan permintaanku!
---


Empat puluh sembilan hari setelah kepergian Bapak, Aku menjadi lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Namun di hari ini, Aku memutuskan untuk pergi ke Gunung Bromo, Setidaknya untuk menenangkan pikiranku. Aku beristirahat sebentar, aku melihat langit yang tertutupi dengan awan.  Entah kenapa aku menyukainya. Sepertinya aku akan berhenti disini saja.
Aku terkejut ketika melihat tangan dengan botol air minum terulur di depanku. "Loh. Kakak yang dulu pernah kasih saya minum ya?" Pertanyaanku dibalas tawa ringan olehnya. "Panggil saya Gavin.". "Ah, iya kak saya Rindu." Aku menyesap air minum yang diberikan Kak Gavin.
"Kakak kenapa kesini? Kakak ngikutin saya ya?", tuduhku. Kak Gavin menjawab dengan tatapan pura pura sinis, "Untuk apa saya mengikuti kamu, saya disini ya kurang lebih sama seperti kamu."
"Memangnya kakak tau saya disini karna apa?", tanyaku penasaran.
"Kamu percaya takdir tidak?", Aku mengernyit heran, kenapa kakak ini malah bertanya balik. Aku menatap langit lalu menjawab, "Pastinya percaya."
"Lalu kenapa kamu selalu menolak setiap takdirmu?", Aku menoleh menatapnya yang masih setia menatap langit. "Kamu tidak hadir di acara wisudamu kan?" tanyanya lagi, lalu aku mengangguk.
"Kenapa?", tanyanya. "Untuk apa aku hadir, jika seseorang yang menjadi alasanku untuk kuliah saja sudah pergi." Jawabku sambil tersenyum miris.
"Semua itu takdir, kalau kamu masih menyesali masa lalumu, kamu akan melewatkan hari hari hebat yang seharusnya sudah ada di genggamanmu.". "Bapakmu pasti bangga padamu, walaupun ungkapan kebanggannya tidak terlihat."
Aku terdiam, benar apa yang dikatakan Kak Gavin. Harusnya aku tidak diam disini saja.
"Kamu sudah menjalankan dan menyelesaikan permintaan Bapakmu, sekarang bukankah seharusnya kamu menuruti apa yang dirimu sendiri inginkan? Ada banyak hal yang belum kamu jalankan."
"Hei! Jangan menatapku seperti itu.", Kak Gavin salah tingkah ketika aku melihatnya dengan tatapan penuh kekaguman. Tapi memang benar, aku jadi sadar karena perkataannya. Dia hebat.
"Terima kasih ya kak atas sarannya. Aku belum bisa balas apa apa, tapi nanti kalau aku sudah mendapatkan hal hebat, akan aku balas perbuatan kakak tadi."
Kak Gavin tertawa. "Memang seharusnya begitu."
"Tapi ngomong ngomong... kok Kakak bisa tau ya permasalahanku? Kakak tau dari mana?", orang yang aku tanyakan malah berdiri lalu hendak pergi. "Yah... itu privasi."
"Tidak bisa begitu!", Aku mengikuti Kak Gavin meminta jawaban. Kak Revan malah tertawa, "Kamu kepo, Ndu!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun