Aku mengernyit ketika melihat mobil pamanku yang terparkir di depan kosan. Aku semakin heran ketika yang keluar dari mobil itu adalah Mas Raga. "Assalamualaikum, Ndu", Mas Raga mengucapkan salam sembari melihatku dengan tatapan sedih.
"Waalaikumussalam, ada apa Mas pagi pagi begini sudah datang?."
"Dek...Bapak", Mas Raga memelukku lalu menangis.
Pertama kali Aku menginjakkan kakiku kembali di rumahku setelah bertahun tahun merantau, Aku malah disambut dengan bendera kuning yang diikat ditiang depan rumahku. Banyak orang yang berkumpul di rumahku. Semua orang menangis. Aku masih terdiam, bahkan sampai Ibuku yang menangis histeris sambil memelukku.
Air mataku mulai terjatuh ketika melihat Bapak yang sudah di selimuti dengan kain kafan. Aku terduduk lemas, disamping Bapak.
"Bapak! Bapak! Tidak...", Aku menangis histeris memanggil Bapak. Ibuku hanya bisa memelukku sambil berbisik, "Sabar Nak, Ikhlaskan Nak..."
Tidak, bagaimana aku bisa Ikhlas? Bapak belum mengabulkan permintaanku!
---
Empat puluh sembilan hari setelah kepergian Bapak, Aku menjadi lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Namun di hari ini, Aku memutuskan untuk pergi ke Gunung Bromo, Setidaknya untuk menenangkan pikiranku. Aku beristirahat sebentar, aku melihat langit yang tertutupi dengan awan. Â Entah kenapa aku menyukainya. Sepertinya aku akan berhenti disini saja.
Aku terkejut ketika melihat tangan dengan botol air minum terulur di depanku. "Loh. Kakak yang dulu pernah kasih saya minum ya?" Pertanyaanku dibalas tawa ringan olehnya. "Panggil saya Gavin.". "Ah, iya kak saya Rindu." Aku menyesap air minum yang diberikan Kak Gavin.
"Kakak kenapa kesini? Kakak ngikutin saya ya?", tuduhku. Kak Gavin menjawab dengan tatapan pura pura sinis, "Untuk apa saya mengikuti kamu, saya disini ya kurang lebih sama seperti kamu."
"Memangnya kakak tau saya disini karna apa?", tanyaku penasaran.
"Kamu percaya takdir tidak?", Aku mengernyit heran, kenapa kakak ini malah bertanya balik. Aku menatap langit lalu menjawab, "Pastinya percaya."
"Lalu kenapa kamu selalu menolak setiap takdirmu?", Aku menoleh menatapnya yang masih setia menatap langit. "Kamu tidak hadir di acara wisudamu kan?" tanyanya lagi, lalu aku mengangguk.
"Kenapa?", tanyanya. "Untuk apa aku hadir, jika seseorang yang menjadi alasanku untuk kuliah saja sudah pergi." Jawabku sambil tersenyum miris.
"Semua itu takdir, kalau kamu masih menyesali masa lalumu, kamu akan melewatkan hari hari hebat yang seharusnya sudah ada di genggamanmu.". "Bapakmu pasti bangga padamu, walaupun ungkapan kebanggannya tidak terlihat."
Aku terdiam, benar apa yang dikatakan Kak Gavin. Harusnya aku tidak diam disini saja.
"Kamu sudah menjalankan dan menyelesaikan permintaan Bapakmu, sekarang bukankah seharusnya kamu menuruti apa yang dirimu sendiri inginkan? Ada banyak hal yang belum kamu jalankan."
"Hei! Jangan menatapku seperti itu.", Kak Gavin salah tingkah ketika aku melihatnya dengan tatapan penuh kekaguman. Tapi memang benar, aku jadi sadar karena perkataannya. Dia hebat.
"Terima kasih ya kak atas sarannya. Aku belum bisa balas apa apa, tapi nanti kalau aku sudah mendapatkan hal hebat, akan aku balas perbuatan kakak tadi."
Kak Gavin tertawa. "Memang seharusnya begitu."
"Tapi ngomong ngomong... kok Kakak bisa tau ya permasalahanku? Kakak tau dari mana?", orang yang aku tanyakan malah berdiri lalu hendak pergi. "Yah... itu privasi."
"Tidak bisa begitu!", Aku mengikuti Kak Gavin meminta jawaban. Kak Revan malah tertawa, "Kamu kepo, Ndu!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H