Apa yang akan terjadi di masa depan negara kita, jika generasi muda menganggap lazim penggunaan kata-kata kotor dalam setiap interaksi dengan teman sepermainannya?
Pada liburan akhir tahun ini, kami sekeluarga pergi liburan ke Pulau Pari selama 4 hari 3 malam. Rencana liburan ini sudah disusun selama beberapa Minggu sebelum keberangkatan.
Destinasi wisata yang kami pilih sengaja wisata ke Pulau Seribu dengan harapan terbebas dari polusi udara Jakarta yang setiap hari kami hirup.
Yang terbayang dalam benak saya ketika mempersiapkan liburan keluarga ini, ketika kami sampai di Pulau Pari, kami akan mendirikan tenda di tepi pantai, menikmati indahnya pantai, sunset dan sunrise, suasana damai nan syahdu dengan suara ombak berdesir khas tepi pantai.
Setibanya di Pulau Pari saya tidak kaget dengan situasi alam yang ada di sana, hal ini karena saya sudah survei dari beberapa media sosial karena saking excitednya liburan pertama keluarga seusai menikah.
Media sosial yang sempat saya survei seperti Youtube untuk memberikan gambaran penampakan real lokasi wisata Pulau Pari, media blog atau website saya kunjungi juga untuk memberikan gambaran pengalaman orang yang telah melakukan liburan di pulau Pari. Dan, yang terakhir adalah Google Earth sebagai media yang biasa saya pakai untuk melihat lokasi tempat dan denah suatu tempat secara menyeluruh.
Keindahan Pulau Pari tidak diragukan lagi, kebersihan pulau sangat terjaga, tempat wisata nyaman dan indah, penduduk pulau juga ramah. Pulau Pari sebagai destinasi wisata, tertata dan terjaga dengan baik oleh pemerintahan setempat.
Hanya saja, ada keresahan yang saya rasa selama bertenda di Pulau Pari. Keresahan ini, timbul dari wisatawan muda-mudi yang bertenda di sepanjang Pantai Perawan. Sejumlah wisatawan yang rata-rata berasal dari Jakarta banyak didominasi oleh kaum muda.
Kaum muda dengan jiwa yang senang kebebasan, tantangan dan petualangan banyak memilih memanfaatkan fasilitas tenda sebagai tempat tinggal selama liburan di Pulau Pari. Para wisatawan muda yang saya jumpai sebagai tetangga tenda, kebanyakan usia SMA hingga kuliah.
Mereka datang dengan kelompok pertemanan masing-masing. Yang saya amati dari sekian banyak wisatawan muda yang datang dan pergi, mereka punya kebiasaan berbicara dengan teman-temannya menggunakan kata-kata yang kurang pantas atau kata kotor.
Sepanjang saya mengamati tingkah laku mereka, rata-rata wisatawan muda tetap menghormati orang yang lebih tua, walaupun dengan teman sebaya berbicara dengan kata kotor.
Beberapa kali, suami saya mengobrol dan bersosialisasi dengan mereka, jadi saya hanya mengamati cara mereka berinteraksi dengan orang yang lebih tua, mereka cukup menghormati dan punya etika baik kepada orang yang lebih tua.
Saya banyak merenungkan mengenai fenomena berbicara dengan kata kotor di kalangan anak muda ini, dan berikut beberapa hal yang bisa mendasari perilaku mereka tersebut.
Kata-kata Kotor sebagai Wujud Eksistensi
Pemuda berada di masa tahapan kehidupan di mana mereka menunjukkan eksistensi dan jati diri. Berbicara dengan kata-kata kotor dianggap sebagai upaya menunjukkan diri mereka kepada lingkungan, agar tidak dianggap remeh oleh lingkungan.Â
Dengan mendapatkan pengakuan dari lingkungan inilah mereka merasa eksis. Sehingga, kebutuhan akan eksistensinya terpenuhi. Eksistensi diri bukanlah hal yang negatif, melainkan cara pemenuhannya haruslah dengan cara yang positif.Â
Kurangnya Kontrol Emosi
Pada tahap perkembangan usia pemuda ini, emosi dirasakan dengan meluap-luap terkadang tanpa disadari mereka tidak mampu mengontrolnya. Meluapkan emosi bukan hal yang salah, justru ketidakmampuan mengenali emosi dan mengekspresikannya secara wajar adalah sebuah alarm bagi kesehatan mental kita.Â
Mengekspresikan emosi pada usia muda sering merupakan luapan emosi yang berlebihan dan tidak terkendali, dapat direpresentasikan dalam bentuk makian, amarah dengan kata-kata kotor, kasar dan mengancam.
Mencontoh Lingkungan
Lingkungan para pemuda bermula dari keluarga, tetangga, teman sekolah dan teman sepermainan. Orangtua yang sering kali berinteraksi dengan ucapan kotor entah antar orangtua maupun kepada anaknya akan mudah dicontoh anak-anak, bahkan hingga dewasa.Â
Sementara lingkungan tetangga, teman sekolah, maupun teman sepermainan menjadi ruang terbesar anak dalam berinteraksi ketika memasuki usia pemuda. Interaksi yang intens akan menjadikan berbicara dengan kata kotor sebagai kebiasaan dan dianggap wajar.
Mencontoh Idola
Di era internet, pertukaran informasi yang didapatkan bisa sangat mudah dan cepat. Influencer dari berbagai media sosial dijadikan sebagai idola dan panutan bagi generasi muda, khususnya penggunaan bahasa dalam berinteraksi di konten media sosialnya.
Setelah mengetahui penyebab pemuda menggunakan kata-kata kotor dalam berinteraksi, maka baiknya kita mengetahui dampaknya bagi pemuda.
Seseorang yang terbiasa menggunakan kata-kata kotor dalam berinteraksi akan mudah terganggu secara psikologis, yakni mudah merasa tersinggung, marah dan dendam.Â
Selain itu, perilaku tersebut juga menimbulkan persepsi negatif terhadap pemuda tersebut. Pemuda yang sering menggunakan kata-kata kotor harus siap dengan stigma negatif seperti kasar, tidak sopan, dan tidak ramah.
Lantas, bagaimana solusi dalam menghadapi penggunaan kata-kata kotor di kalangan pemuda? Berikut ini beberapa solusi yang perlu diperhatikan.
Kenali penyebabnya. Jika kita merupakan pelaku yang menggunakan kata-kata kotor dalam berinteraksi, sebaiknya kita tanyakan kepada diri sendiri apakah yang mendasari perilaku kita tersebut. Jika kita sudah mengenali penyebabnya maka lebih mudah untuk mengatasi atau mengantisipasinya.
Pilih teman atau lingkungan yang membawa dampak baik. Jika pengaruh lingkungan pertemanan adalah pengaruh paling signifikan dalam menggunakan kata-kata kotor maka lebih baik untuk memilih teman yang memberikan dampak positif bagi kita.
Yakini bahwa penggunaan kata-kata kotor itu menjadikan diri kita buruk. Kata-kata kotor yang keluar dari mulut kita tidaklah menjadikan kita terlihat lebih keren, justru membuat kita terlihat lebih buruk. Orang lain dapat berpikir bahwa kita orang yang tidak tahu sopan santun, tidak bermoral, bahkan mencerminkan kemunduran dalam etika dan religi.
Oleh karena itu, sebaiknya berkata-kata kotor sebaiknya dikurangi dan dihindari. Penggunaan kata-kata kotor tidaklah membuat seseorang terlihat lebih keren. Kita harus belajar menghormati dan menghargai orang lain dengan ucapan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI